Hari Raya Imlek Selayang Pandang

Mengenal Hari Raya Imlek - Dalam setahun masyarakat di Indonesia setidaknya memperingati tahun baru dalam tiga kali kesempatan. Pertama tahun baru Masehi yang jatuh pada 1 Januari yang lazim diperingati di seluruh dunia, kedua tahun baru Hijriah yang merupakan tahun baru bagi umat Islam yang diawali pada 1 Muharram (juga dikenal sebagai 1 Suro oleh masyarakat Jawa), dan yang terakhir, tahun baru Imlek yang dirayakan oleh warga Tionghoa.`
Mengenal Hari Raya Imlek.

Imlek adalah hari yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran oleh seluruh etnis Tionghoa di belahan dunia manapun, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini sudah menjadi tradisi yang berlangsung secara turun-temurun sejak berabad-abad lalu.

Tidak berbeda dengan kebiasaan di negara lain, kalangan etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia umumnya menyambut Imlek dengan pesta meriah. Perhelatan ini biasanya mencakup pula rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan di klenteng atau bio, khususnya bagi pemeluk Konghucu. Rangkaian upacara ini biasanya diikuti oleh acara pawai mengarak dewa-dewa mengelilingi kota sebelum akhirnya ditempatkan kembali di klenteng-klenteng asalnya. Acara ini dikenal dengan istilah gotong toapekong.

Namun sejak pertengahan 1960-an perayaan Imlek di Indonesia terputus dengan adanya berbagai peraturan yang mengatur dan mengawasi kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Salah satu di antaranya, Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat orang Tionghoa di Indonesia. Peraturan itu membatasi acara-acara yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Tionghoa di luar rumah ibadat mereka.

Selain itu, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Orde Baru menerbitkan Instruksi Presiden no. 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Pemerintah mengategorikan agama dan tradisi Tionghoa, seperti Kong Hu Cu (yang berdasar Sensus 1977 dianut 1 juta orang) dan Tao, sebagai agama Buddha dan semua klenteng dikonversi menjadi vihara, tempat para pemeluk Buddha melakukan ritual agama mereka. Sejak itu perayaan Imlek tidak bisa dilakukan secara terbuka, tapi hanya sebatas di dalam rumah diantara anggota keluar dekat saja atau di tempat peribadatan secara sederhana.

Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mendapat angin segar. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat orang Tionghoa.

Dengan adanya Keppres yang berlaku sejak 17 Januari 2000 ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat warga Tionghoa bisa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya.

Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002. Dengan keppres ini Imlek sebagai hari libur nasional dianggap sejajar dengan hari-hari libur nasional lainnya.

Namun, keputusan pemerintah untuk menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional menimbulkan pertanyaan baru. Di Indonesia hari libur nasional yang terkait dengan agama biasanya merupakan hari raya dari agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Jika Imlek diakomodir sebagai hari libur nasional, apakah Imlek juga mewakili hari raya agama tertentu atau hari raya orang Tionghoa secara keseluruhan?

Tak heran banyak orang-orang yang menyalahartikan bahwa Imlek adalah hari raya keagamaan para pemeluk agama Khonghucu. Pendapat ini sebenarnya kurang tepat, karena perayaan Imlek sesungguhnya sudah menjadi tradisi Tionghoa sejak jauh hari sebelum Kong Hu Cu lahir.

Imlek adalah tahun barunya semua orang Tionghoa, terlepas dari agama apa pun yang dianutnya. Orang Tionghoa yang bukan penganut Kong Hu Cu pun  tetap merayakannya tak terkecuali, sejauh ia masih tetap merasa dirinya Tionghoa. Di luar negeri pun orang menyebutnya Chinese New Year (Tahun Baru China), bukan Confusianist, Taoist, atau Buddhist. Bisa dikatakan bagi mayoritas etnis Tionghoa, tahun baru Imlek sifatnya hanya dirayakan sebagai meneruskan tradisi , adat dan kebudayaan dan tidak ada kaitannya dengan Agama tertentu.

Dengan demikian, jelas bahwa tahun baru Imlek adalah hari raya budaya, bukan hari raya agama tertentu.

APA ITU IMLEK ?
Imlek sering juga disebut Sincia (Sin = baru, Cia = bulan pertama) atau ada juga yang menyebutnya Nong Li (农历, bacanya: nung li), yang artinya “penanggalan petani”, hal ini berkaitan dengan mata pencaharian sebagian besar orang Tionghoa di China jaman dulu adalah bertani.

Kata "Imlek"sendiri bukanlah nama dari perayaan tahun baru Tiongkok yang sebenarnya. Kata ini diambil dari Bahasa Hokien dan hanya diketahui dan digunakan oleh orang Indonesia. Di luar Indonesia, perayaan Imlek ini lebih dikenal dengan nama Chinese New Year untuk orang-orang barat, sedangkan orang Tiongkok sendiri menamainya "Guo Nian" atau "Xin Jia/Sin Cia" yang berarti lewati bulan atau bulan baru.

Kata "Imlek" berasal dari dialek bahasa Hokkian yg berarti "Kalender/Penanggalan bulan" (im= lunar atau bulan; lek = kalender/ penanggalan). Dalam Bahasa Mandarin, Imlek adalah "Yinli". Dengan demikian tahun baru Imlek artinya tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.

Jadi, sesungguhnya adalah tidak tepat apabila ucapan “Selamat Tahun Baru Imlek” disingkat menjadi “Selamat Imlek” saja, sebab “Selamat Imlek” artinya = “Selamat Kalender Lunar”.

Di luar negeri kalender ini dikenal sebagai Xiali (Kalender Xia), sebab sudah ada semenjak Dinasti Xia yakni tahun 2100-1600 SM.

Di Indonesia kebanyakan Tahun Baru Imlek dirayakan juga sebagai perayaan hari lahirnya Kong Hu Chu, seorang filsuf besar Tiongkok yang lahir di tahun 551 SM, sehingga dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi itu berselisih 551 tahun. Jika tahun Masehi saat ini 2016, maka tahun Imleknya menjadi 2016 + 551 = 2567, maka bagi warga Tionghoa yang masih menganut ajaran Agama Kong Hu Chu , Tao maupun Budha sangat tepat kalau disebut sebagai Tahun Baru Imlek ke 2567. 

Namun kebanyakan masyarakat Tionghoa diluar Indonesia, perayaan tahun baru Imlek berdasarkan penanggalan Imlek yang dimulai tanggal 8 Maret 2637 SM, saat Kaisar Kuning/ Huang Di (2697-2597 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 pemerintahannya. Perhitungan ini disebut Huangdi Era (HE) yang dihitung berdasarkan kelahiran Huangdi, sebab Huangdi diterima sebagai leluhur orang Han, atau orang Tionghoa pada umumnya.

Dengan demikian perhitungannya dapat dicontohkan bahwa misalnya tahun 2016, berarti 2016 + 2697 = 4713 HE.

Jadi kalender Huang Di ini sudah ada pada Dinasti Xia, 2100-1600 SM, jauh sebelum zaman Guru Kongzi lahir pada Dinasti Zhou tahun 1046-256 SM.

Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan Chun Jie (春节, baca: juen cie), yang artinya “menyambut musim semi”. Kegiatan itu disebut "Guo Nian" (memasuki tahun baru), sedangkan di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan "Kou Nian/ Konyan".

Dahulu negeri Tiongkok dikenal sebagai negara agraris dimana mayoritas masyarakatnya adalah petani. Ketika musim dingin berlalu, masyarakat akan menyambut dimulainya musim semi dengan penuh sukacita. Inilah saatnya bagi para petani untuk menanam lagi, terutama tanaman padi (China selatan) dan kebanyakan gandum (China utara) serta tanaman pertanian lainnya.

Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, para petani di Tiongkok pada jaman dulu wajib menyambut datangnya musim semi dengan perayaan yang sangat meriah dan secara kebetulan perayaan pergantian musim ini jatuh bertepatan dengan pergantian tahun kalender Tiongkok, yaitu tahun Imlek (Yinli). Sebab itu, perayaan tersebut, selain dikenal sebagai pesta musim semi (Chunjie), juga disebut perayaan Imlek.

Kebahagiaan menyambut datangnya tahun baru dan dimulainya musim semi ini diungkapkan dengan sikap saling mengucapkan salam “ Sin Chun Kiong Hie “ sambil mengepalkan kedua tangan di dada kepada keluarga, kerabat dan teman-teman. Yang menerima membalas dengan gerak serupa, “ Kiong Hie..”. Artinya selamat musim semi baru.

Gong Xi Fa Cai artinya ucapan selamat dan semoga banyak rezeki. Tradisi ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tionghoa ke manapun dia merantau, termasuk ke Indonesia.

Dalam sejarahnya ucapan selamat tahun baru imlek jadi variatif, mengikuti bahasa suku-suku besar seperti dalam bahasa Mandarin (bahasa persatuan) dan Hokkian diucapkan “Gong Xi Fa Cai ”. Sementara dalam  bahasa Hakka “Kiung hi Fat Choi “ yang artinya selamat bertambah rejeki, harta, kaya atau sejahtera. Ada lagi “ Sing Nien Kuo Lai “ artinya “berbahagialah di Tahun Baru”.
Perayaan imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau yang lebih dikenal dengan istilah Cap Go Meh.

Perayaan Imlek meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta/Thian (Thian=Tuhan dalam Bahasa Mandarin), dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari sembahyang Imlek adalah sebagai bentuk pengucapan syukur, doa dan harapan agar di tahun depan mendapat rezeki yang lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai media silaturahmi dengan keluarga dan kerabat.

TRADISI DALAM PERAYAAN IMLEK
Ada sejumlah tradisi yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa menjelang dan selama Imlek serta berbagai makna yang tersembunyi dibaliknya :

1. Tradisi Bunga Mei Hua 
Di negeri Tiongkok dikenal terdapat 4 musim,yaitu musim semi,musim panas,musim gugur dan musim dingin. Tahun baru Imlek datang bersamaan dengan musim semi, maka dulu dikenal adanya istilah Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek). Festival ini berlangsung sangat meriah dan pernah dijadikan agenda tahunan oleh pemerintah Tiongkok . Bunga Mei Hwa adalah pertanda datangnya musim semi. Itulah sebabnya terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan indah.

2. Tradisi Menyapu rumah
Sehari sebelum Imlek warga Tionghoa akan menyapu rumah sebagai simbol membuang semua kesialan sehingga tersedia cukup ruang untuk keberuntungan. Setelah itu, jauhkan semua peralatan seperti sapu dan sikat dari jangkauan. Jangan menyapu rumah di hari pertama tahun baru karena hal itu dipercaya akan ikut menyapu semua keberuntungan. Selain itu jendela rumah akan dibuka lebar-lebar sampai tengah malam agar anggota keluarga mendapat rejeki banyak.

3. Tradisi saji Jeruk kuning, Apel dan Pear 

Ketiga buah yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna tersendiri. Buah jeruk biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang sepasang atau lebih, dan yang memiliki daun di dekat buahnya. Jeruk tersebut ditempeli kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go Meh. 

Kata "jeruk" dalam bahasa Tionghoa bunyinya hampir sama dengan "Da Ji", yang berarti besar rejeki. Sedangkan untuk buah "Apel"(ping guo) mempunyai arti "Ping Ping An An" sama artinya dengan "Da Li" yang berarti besar kesehatannya dan keselamatannya, lalu untuk buah Pear melambangkan kebahagian yang atinya "Sun Sun Li Li".

Oleh sebab itu ketiga macam buah ini selalu menghiasi meja sembahyangan orang Tionghoa yang masih menganut Kong Hu Cu, yang menyimbolkan makna "Da Ji Da Li Sun Sun Li Li" = "Besar rejeki, besar kesehatan & keselamatannya dan besar pula kebahagiaannya". 

3. Tradisi Kue Keranjang
Salah satu kue khas yang selalu hadir dalam perayaan tahun baru Imlek adalah kue keranjang. Kue Keranjang berbentuk bulat, mengandung makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Biasanya Kue Keranjang disajikan di depan altar keluarga atau di dekat tempat sembahyang di rumah. 

Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku, dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari.

Setiap tanggal 24 bulan 12 Imlek (enam hari sebelum pergantian tahun), Dewa Tungku ( disebut juga dg Dewa Dapur ) akan pulang ke Surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dewa Tungku. Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, yang akhirnya disebut dengan Kue Keranjang. 

4. Nampan kebersamaan
Pada saat Imlek biasanya disajikan makanan di atas sebuah nampan berbentuk bulat atau segi delapan, yang disebut sebagai nampan kebersamaan. Isi nampan tersebut yakni permen, kacang-kacangan, biji-bijian, atau buah-buahan kering. Ini semacam cemilan untuk memeriahkan perayaan Imlek.

5. Makanan keberuntungan
Imlek ditandai dengan acara makan bersama anggota keluarga. Salah satu makanan yang pasti tidak dilupakan adalah menyajikan makanan keberuntungan seperti mie goreng yang tidak dipotong yang mewakili umur panjang. Ada juga kue bola yang menyerupai bentuk uang China zaman dulu yang mewakili kekayaan.

6. Memberi Angpao
Angpao adalah amplop kecil berwarna merah yang disi uang. Pemberian angpao ini biasanya dilakukan oleh orang Tionghoa yang lebih tua atau sudah menikah kepada anak-anak kecil atau saudara lebih muda yang belum menikah. Besarnya nilai uang yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan setiap orang, dan biasanya menggunakan uang lembaran baru.
Selain untuk membawa keberuntungan, pemberian angpao ini konon juga dapat melindungi anak-anak dari roh jahat, uang(Qian) secara harfiah berarti dapat "menekan kekuatan jahat" atau "Ya Sui Qian", sebab ada roh jahat yang bernama Sui; yang selalu hadir setahun sekali untuk mengganggu anak-anak kecil. Sebagai penangkal roh jahat itu, digunakan koin yang dibungkus dengan kertas merah yang diletakkan dibawah bantal. Unsur api yang membakar pada warna merah dipercaya dapat melindungi dari pengaruh jahat.

7. Tradisi Kembang api / Petasan
Perayaan Imlek biasanya dimeriahkan dengan pesta kembang api dan petasan/mercon. Hal ini berkaitan dengan adanya legenda tentang asal mula tahun baru Imlek.
Tahun Baru yang di lafalkan sebagai Sing (xian) Nien dalam bahasa Tionghoa berasal dari  nama seekor hewan monster pemakan manusia. Kemenangan manusia atas Nien ini lah yang ditetapkan sebagai hari ke-I tahun baru Imlek.

Konon dahulu ada sebuah desa di Tiongkok yang penduduknya hidup dicekam ketakutan. Penyebabnya adalah seekor Monster (Nien) yang sering memangsa manusia dan hewan ternak. Monster ini hanya muncul disetiap tahun baru.

Sampai kemudian ada seorang cerdik pandai yang memerintahkan agar penduduk membuat kegaduhan dengan segala bunyi-bunyian. Malam sebelum tahun baru penduduk memukul gong keras-keras, menyalakan petasan dan lampion merah sepanjang malam, dinding rumah harus ditempel kertas atau kain warna merah.

Ternyata monter langsung lari ketakutan mendengar suara keras yang timbul dari petasan dan gong. Selain itu si monster juga takut melihat darah dimana-mana (disimbolkan warna merah). Sejak saat itu tiap tahun penduduk desa melakukan hal serupa dan sang monster tidak pernah kembali.
Keesokannya penduduk merayakan hari bertuah itu sebagai hari pertama tahun baru. Mereka bergembira dan saling mengucapkan selamat. Hari itu dinamai sesuai nama monster, Nien. Penamaan ini lafalnya agak berbeda dari suku ke suku. Orang Hokkian atau Tio Chiu menyebutnya “Ni”, sementara orang Hakka menamakan tahun baru Imlek dengan “Ko Nyan”.

Lama kelamaan Nien ini berkembang menjadi berarti Tahun (Nian) dan di dalam kalender Imlek dilambangkan dengan 12 jenis binatang yang dikenal dengan shio-shio Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi,Tikus,Ke rbau,Macan dan Kelinci.

Selain itu, Imlek juga identik dengan warna merah karena dipercaya sebagai warna yang ditakuti monster nien dalam legenda Imlek. Tak heran pada saat Imlek banyak orang Tionghoa yang mengenakan busana berwarna merah, dan menghiasai rumah dengan pernak-pernik berwarna merah. Bahkan petasan yang digunakan untuk merayakan Imlek pun dibungkus warna merah.

8. Tradisi Barongsai dan Naga ( Liong )

Sebutan Barongsai bukan berasal dari Tiongkok , kemungkinan kata Barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian Barong Jawa, sedangkan kata Sai bermakna Singa dalam dialek Hokkian. 

Di Tiongkok kesenian Barongsai dikenal dengan nama LUNGWU, namun khusus untuk menyebut tarian Singa, sedangkan tarian Naga disebut  SHIWU dalam bahasa Mandarin.

Konon Naga adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa,bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan,tetapi memiliki cakar mirip elang. Sedangkan singa dalam masyarakat Tiongkok  merupakan simbol penolak bala (walau di Tiongkok sendiri Tidak pernah hidup Binatang Singa ! ). Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan,kedamaian dan kebahagiaan. Tarian barongsai dilengkapi replika Naga ( Liong ), Singa dan Qilin ( binatang bertanduk ).

Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari Raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata upaya itu berjalan sukses hingga akhirnya tarian barongsai pun melegenda hingga kini. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan.

Demikianlah beberapa tradisi yang biasanya dilakukan oleh etnis Tionghoa di Indonesia dalam menyambut Imlek yang masih berlangsung sampai sekarang.

Posting Komentar untuk "Hari Raya Imlek Selayang Pandang"