7 Hari Tersesat di Gunung Merapi ( Part 8-9 )

Sumatera Barat, sungguh sangat sering dikait-kaitkan dengan hal mistis. Terlihat konyol dan terdengar sedikit berlebihan bukan? Namun, hal- hal inilah yang mungkin kurasakan dan mungkin tak semua orang bisa merasakan. Diikuti oleh makhluk yang tak pernah terfikir dalam benak kita bentuk dan rupanya. Sulit untuk menafsirkan dengan akal dan fikiran, "Ahhh, dunia sudah modern seperti ini masih percaya hal begituan?!!! Takhayul!" kalimat itu mungkin yang akan keluar dari mulut sebagian orang.

Makhluk hitam besar yang pertama kali dilihat oleh Andre adalah makhluk yang sering mengikutiku, seperti yang disampaikan Ayahku. Dari awal memang makhluk tersebut sudah banyak memberi isyarat kepada aku dan Andre, Bola mata bercahaya yang selalu mengukuti, Suara "Geraman" seperti binatang buas, itu adalah isyarat yang artinya mungkin menyuruh kami untuk tidak melanjutkan perjalanan karena ada sesuatu hal. Lalu, aku bertanya kembali kepada Ayahku, "maksudnya hal apa Yah?!" sambil membuka mata, Ayah menjelaskan seperti ini : "Gunung itu, terutama Hutan, adalah Sarang dan tempat berkumpulnya para makhluk-makluk Halus dari berbagai Jenis, Derajat, dan Sifat. Mereka sama seperti kita, memiliki pemimpin, ada salah satu yang paling ditakuti, disegani, atau di hormati. Untuk bisa berjalan mulus ketika masuk kedalam hutan, sama halnya dengan -bertamu, anggap mereka yang punya rumah dan kita tamunya. Gak bisa se'enaknya man! mereka bisa marah, mereka bisa membuatmu berputar-putar tak tentu arah, bahkan mereka bisa membuatmu tak bisa kembali pulang, ingat itu! Jadi, hormati mereka, jangan macam-macam, tak boleh berkata kasar, tak boleh berkata jorok, jangan mengambil sesuatu yang bukan hak mu disana, kecuali jika kita sangat-sangat butuh dan telah minta izin dengan isyarat, seperti Air, ranting Kayu, dlsb. Ayah yakin, ada salah satu diantara bangsa mereka yang tersinggung kepada diantara kalian. Ada hal yang membuat mereka menjadi usil, jahil, dan nakal pada manusia seperti kita. Tapi, jangan khawatir man, makhluk yang sering mendampingimu termasuk salah satu makhluk yang masih disegani di gunung tersebut. Maka dari itu, Andre dan Nopeng itu masih bisa bertahan sampai saat ini, dan Ayah yakin mereka akan diketemukan".

Setelah mendengar penjelasan Ayah, aku akhirnya mengerti sebuah konsep saling menghargai, bahwa, makhluk-makhluk tersebut sebenarnya juga ingin dihargai dan dihormati oleh manusia. Manusia tak boleh sombong, tak boleh angkuh, tak boleh sesuka hati merusak apa yang tersedia disana. Sambil melamun, akhirnya akupun tertidur di sofa sampai keesokan hari. Aku sangat letih dan sungguh membutuhkan tenaga ekstra saat itu.

Mempersiapkan bekal dan perlengkapan untuk kembali ke Merapi, akupun meminta izin Ayah untuk kembali ke gunung merapi. Sesampainya disana, Tim SAR sudah berencana menghentikan pencarian, namun karena ada beberapa sebagian yang masih yakin mereka masih hidup, akhirnya pencarian masih terus berlanjut, namun intensitasnya lebih tinggi. Seperti yang pernah aku sampaikan, salah satu Anggota SAR senior juga berkata "Kalau di Merapi ini ada orang hilang, pasti mayatnya ketemu, tak mungkin tidak. Kalau belum ketemu, bisa dipastikan mereka masih hidup".

Untung saja, Andre dan Nopeng dulu pernah mengikuti pelatihan dari SISPALA, bagaimana tahap-tahap bertahan di hutan dengan berbagai kondisi, dan akhirnya kini mereka harus mampu menyelesaikan ujian yang diberikan oleh Alam.

Sampai malam menjelang, lagi-lagi kami belum juga mendapatkan informasi keberadaan mereka. Rasa putus asa pun semakin sering muncul, namun jika mengingat pernyataan dari tim SAR senior yang masih yakin mereka hidup, aku masih semangat dan kepercayaanku kembali pulih. Ditambah lagi jika mengingat apa yang disampaikan Ayah hari kemarin bahwa - Mereka Bisa Dipastikan Masih Hidup-.
(*)

HARI KEENAM pencarian, kami memperoleh kabar di posko, bahwa ada warga yang menemukan dua orang pendaki dalam kondisi sekarat. Info itu membuat kami berhamburan tumpah ruah tak tentu arah, dan berkumpul di satu titik, gelombang radio frekuensi telekomunikasi -Handy Talky (HT). Info tersebut diperoleh dari posko yang berdekatan dengan pemukiman warga.

"....Ada dua orang pendaki yang sedang kritis pak...!" kreeeeekkkk!

"unit satu, posko satu, laporan diterima, mohon informasikan ciri-cirinya, ganti!" kreeeeeeekkk!

"sebagai informasi pak! korban pertama bernama - Andre, dan korban kedua bernama -Noviandi, kondisi diamankan Pak, laporan selesai, ganti! kreeeeeeekkkk!

"Laporan diterima pak, Korban memang benar orang yang kita cari pak! mohon bantuannya diamankan pak, kami akan menuju TKP, terima kasih Pak atas bantuannya...!"

*hening....,

Kami bersorak, berpelukan, air mata sempat menetes di pelupuk mata kami. Mereka yang belum mengenal Andre dan Nopeng pun, matanya sempat berkaca-kaca menyaksikan kisah heroik dalam pertempuran maut yang dilalui Andre dan Nopeng.

Setelah perbincangan antara anggota posko tempat kami berada dan posko tempat Andre, Nopeng berakhir, kami langsung bergegas menuju lokasi dimana mereka berada. Didampingi beberapa wartawan pers, Ambulance, setelah kami tiba dilokasi, Andre dan Nopeng langsung dibawa ke RSAM (Rumah Sakit Ahmad Muchtar) Bukittinggi.

Sungguh banyak yang tak menyangka dan menduga mereka berhasil keluar dari cengkeraman maut tersebut, dan Usaha kami ternyata tak sia-sia. Ini merupakan segelintir kecil perjalanan epik yang kulalui menurut versiku sendiri. Kami berlima memiliki kisah yang berbeda, walau berada didalam zona permainan teka-teki hidup yang sama. Perjalanan ini sudah lama terkubur, dan sebagiannya ada yang terlupa. Karena, aku hanya manusia yang tak pernah bisa sempurna, namun aku selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan padaku.


“Tuhan punya rencana terbaik diatas segala kesulitan manusia, oleh karena itu usaha terbaik kita adalah selalu Bersyukur”
Saya Nofiandi, biasa dipanggil Nopeng. Diantara lima pendaki yang naik ke Merapi waktu itu, dua diantara yang tersesat adalah aku bersama Andre.

Mungkin, versiku memiliki banyak persamaan dengan versi Andre, namun, di setiap tahapannya mungkin ada beberapa yang terlupa atau tak diingat oleh Andre, dan ada beberapa yang tak terlihat olehnya, namun terlihat olehku.

Saat berada di Bus dari Padang menuju Koto Baru, Andre sempat kesal padaku lantaran aku menggoda seorang wanita dengan mengatakan bahwa aku akan mengadakan pelatihan survive dengan "Adik-adik Junior" sambil melihat ke arah Andre. Tujuannya sih hanya bercanda, namun Andre mungkin kesal karena Andre jadi seolah mati kutu atas perlakuanku.

Sepanjang perjalanan Andre diam seperti patung kayu, merengut, terlihat jelas wajah kesalnya padaku.

Setelah sampai di Terminal Koto Baru, kami singgah di Pasar dan istirahat sambil mengisi perut yang kosong. Andre saat itu membeli dua bungkus Nasi, membuka, dan memakannya tanpa menawarkan padaku. Karena aku menganggap hal di bus itu hanya hal sepele dan bukan masalah besar, aku sigap mengambil dan memakan nasi yang berada di atas meja tersebut.

"Hah! kau makan juga nasi ku ya?!" tanya Andre padaku dengan nada ketus.

"Ya iya lah Ndre, kau kan kawan ku!" jawab ku sambil mengunyah nasi yang baru ku suap kedalam mulut.

"Janganlah kayak gitu Peng, masa kau bilang aku adek senior kau di bus tadi! Aku kan malu."

"Ohh, jadi kau marah gara-gara itu Ndre?! hahaha, becanda Ndre...becanda!!!"

Kamipun melanjutkan makan, ngopi, dan menghitung logistik, memastikan tidak ada yang kurang, seperti beras, gula, indomie, dlsb. Saat itu kami berencana hanya sebentar, dua malam tiga hari, sehingga logistik pun hanya pas-pasan. Lagi pula kami hanya anak Sekolah, uang pas-pasan, itupun sedikit uang tambahan kudapat dari hasil meminta-minta dari kelas kelas lain, karena aku termasuk orang yang berpengaruh di Sekolah saat itu. Jika ada yang menyentuh kami sedikit saja, Uncu, Andre, Iwan dan Firman pasti ikut serta membantu, "Sahabat yang tak terpisahkan".

Setelah selesai makan, kami melanjutkan Shalat Isya di Mesjid yang tak jauh dari pasar tersebut. Selesai Shalat, kamipun melanjutkan perjalanan ke kaki merapi. Baru berjalan beberapa meter, Andre tersadar bahwa kacamata yang dibawanya tertinggal, kamipun kembali untuk memastikan, dan Anehnya sudah tak ada. Padahal jarak waktu tersebut tak begitu lama.

"Pak, ada kacamata tinggal disini Pak?" kami bertanya pada Penjaga Mesjid.

"Gak ada pak, gak ada kacamata yang tinggal disini"

setelah dicari dan gak ketemu, kamipun berkumpul membuat baris lingkaran untuk berdoa bersama, semoga diberi kelancaran saat pergi dan pulang mendaki. Sedangkan Andre, kecut dan bertambah kesal karena harus mengganti Kacamata yang hilang tersebut, karena kacamata tersebut Ia Pinjam dari seorang Tukang Ojek di Padang.

Kami melanjutkan perjalanan ke Merapi dan tiba di Pesanggrahan, istirahat sejenak dan mendaftarkan nama kami serta membayar uang retribusi. Setelah itu kami lanjutkan berjalan sehabis rehat selesai. Sebelum perjalanan, Uncu sebagai kepala regu, menyusun Posisi, Uncu paling depan, Aku Urutan kedua, disusul Iwan posisi ketiga, Firman dan Andre. Dalam posisi tersebut, harusnya posisi pertama dan terakhir harus diisi oleh orang yang sudah pernah mendaki di medan tersebut sebelumnya. Namun, karena hanya Uncu yang sudah pernah ke Merapi, dan Kebetulan Andre memiliki postur tubuh yang besar dan tinggi, maka Andre yang mendapat posisi di belakang, walau sebelumnya Andre belum pernah ke Merapi.

Mendengar Ia di tugaskan di Posisi belakang, Andre pun semakin bertambah kesal, dan sepanjang perjalanan ada ada saja kelakuan Aneh yang dibuatnya. Berisik, ngomel-ngomel sendiri, seolah-olah tak nyaman dengan posisi urutan belakang yang diberikan pada dirinya

Setelah itu, hal-hal apa saja yang terjadi padanya aku tak begitu tahu, karena aku fokus berjalan di urutan kedua. Sambil berjalan dan sesekali bercanda-canda dengan Andre, Uncu sering menginstruksikan untuk melakukan perhitungan untuk memastikan jumlah kami tak berkurang dan tak bertambah.

"Ayo, kita hitung sama-sama, Satu!" ucap uncu dengan sigap.
Lansung saja spontan kujawab "Dua!", disambut Iwan "Tiga!" dan Firman "Empat!", Kemudian Andre dengan nada masih kesal "Lima...".

Langsung disambut uncu yang berada di posisi depan,
"Gak ada yang bertambah dibelakang menjadi Enam kan Ndree??!, sambil tertawa. "Hahahaha".

Mendengar itu, Andre semakin gelisah, semakin bertambah kesal dan Akhirnya Firman menimpal posisinya berdua dibelakang. Tiba dijalan setapak, barulah Firman yang menggantikan posisinya di belakang dan kondisi berubah menjadi sedikit tenang.

Sepanjang perjalanan, aku tak ada kepikiran hal yang aneh-aneh, hingga akhirnya hari sudah mulai terlihat terang. Kalau tidak salah saat itu sudah hampir pukul lima pagi, karena aku mendengar suara Adzan Subuh dari kejauhan.

Sampai di Parak Batuang, Iwan, Firman dan Andre lebih dulu menuju Cadas, Batas Vegetasi. Aku dan Uncu beristirahat sejenak, karena saat itu dada uncu terasa sesak, dan aku berniat menemaninya. Tak sadar, akhirnya kami berdua tertidur dan ketika pagi aku tersentak, aku langsung membangunkan uncu untuk segera naik ke Cadas.

Pada saat itu, angin begitu kencang di batas vegetasi, Periuk kamipun tak bisa memasak banyak untuk kami berlima, karena ukurannya tidak begitu besar, sehingga memasak harus dilakukan dua tahap. Irwan, Firman dan Andre yang sudah di Cadas mendapat kesempatan untuk masak pertama.

Kami Akhirnya berhenti di cadas, nasi dan Indomie yang sudah mereka masak langsung kumakan, karena Andre dan Iwan sudah lebih dulu dan hampir selesai. Sebelum masak, Firman yang bertugas di Logistik mulai mengeluarkan barang-barang keperluan, alat-alat, dlsb. Ketika mengeluarkan beberapa piring plastik, Andre kaget karena piring tersebut seperti tak asing baginya.

"Ini Piring siapa?!"

Sambil tertawa, kamipun menjawab "Ohh, itu piring nya Pak Alek Ndre!"

"Ahhh, kalian gila ya, piring orang main ambil aja!!!" Andre mengambil piring plastik dan mencampakkannya keberbagai arah dengan sikap arogan, sementara aku yang mengumpulkannya kembali.

Setelah Andre selesai makan, Uncu dan Firman melanjutkan untuk memasak tahap kedua. Aku yang masih asik menikmati makanan, melihat cek cok karena masalah Air, Andre tak mau mengambil Air dan Akhirnya Firman dan Iwan yang diinstruksikan uncu mengambilnya. Sambil mengosongkan Tas, Andre meminta Jatah logistik kepada firman sebelum firman mengambil Air. Saat itu firman memberikan; Dua Sachet Ekstra Jos, Dua Bungkus Rokok Kretek Sampoerna Hijau, Garam Satu Bungkus. Andre mengambil satu sachet lagi Ekstra Jos dan memasukkannya kedalam saku. Melihat itu, akupun tak mau kalah mengambil satu sachet lagi dan memasukkan kedalam saku celanaku. Andre tak sabar ingin ke Puncak dan berencana pamit ingin naik lebih dulu. Walau sudah di cegah oleh Uncu, Andre tak mengindahkan dan tetap bersikeras naik. Masih jelas dalam ingatanku, Andre mengisi botol Aqua berisi Air dengan Ekstra Jos dan memasukkannya kedalam tas. Sambil berjalan, Aku langsung menyusul Andre yang hendak naik sambil meminjam jeket milik uncu. Andre tak sabar ingin melihat Sunrise saat itu, entah mengapa aku seolah terkena magnet ke Indahan puncak yang sempat terbayang dalam benakku.

Sesampainya Aku dan Andre didekat puncak, Andre bersorak bahagia dari atas sambil mengarah ke arah tenda kami yang disana ada Firman, Iwan dan Uncu. "Aku sudah di Puncak hoi..."

Sebelum berangkat ke puncak, uncu sempat berpesan, "Ndre, Ingat Tugu Abel, Tugu Abel, Tugu Abel, itu patokannya".

Tugu Abel adalah tugu yang menjadi pedoman para pendaki untuk turun ke cadas.

Sampai di Tugu Abel, Andre mencium tugu tersebut, Aku heran, "Ndre, kenapa kau cium?!" dengan ringan Andre menjawab, "Aku kagum peng dengan kisah Heroiknya".

Kami duduk sebentar di tugu Abel, sambil menikmati beberapa batang Rokok. Meminum Air yang terisi Ekstra Jos hingga habis. Saat itu puncak Merapi tak hanya diisi oleh kami, karena cukup banyak rombongan lain yang juga berada diatas. Setelah bercerita-cerita di Tugu Abel, kami melanjutkan perjalanan ke Puncak Merpati dengan melewati Sebuah lapangan berkrikil kecil seperti lapangan bola. Andre takut untuk melintas diatas hamparan kerikil tersebut. "Peng, Aman gak jalan disini peng?!, nanti tertelan kita peng!!!" Andre berfikir bahwa tanah bebatuan tersebut semacam lumpur hidup yang bisa menelannya.

Sesampai di sudut lapangan tersebut, kami berhenti sejenak di ujung tebing. Sungguh indah suasana saat itu, melihat dataran hijau, rumah-rumah terlihat kecil, sungguh kami berada di ketinggian yang luar biasa. Sambil duduk Aku bertanya kepada Andre sambil berandai-andai "Ndre, kalau kita jatuh siapa yang menolong kita Ndre? Soalnya kita berdua aja yang ada disini Ndre"

Kami sudah jauh dari kerumunan rombongan lain, karena mereka lebih banyak di Tugu Abel dan Puncak Merpati. Tujuan kami selanjutnya adalah Puncak Merpati, namun ketika mata memandang, terlihat hamparan ladang bunga yang sangat Indah. Sambil berlari, kamipun langsung menuju ladang bunga tersebut dan ternyata itu ladang Bunga Edelweis. Seakan tersihir oleh pesona bunga surga itu, Aku bersama Andre tak henti-henti memetik bunga tersebut sampai tas kami penuh. Yang terfikir olehku adalah, "jika membawa banyak, aku bisa membagi-baginya dibawah", terkesan berlebihan. "Ndre, tolonglah kau potokan Aku satu disini, gantian kita Ndre" Andre memoto ku dan kamipun berpoto secara bergantian. "Peng, udalah poto-potonya, nanti habis filmnya!, kita sisakan buat teman-teman dibawah", sesi foto pun selesai.

Sambil asik memetik bunga Edelweis seakan tak ingat waktu, Ada seorang disebelahku berjarak 2 meter yang juga memetik bunga dengan gerakan perlahan, dengan perawakan dingin dan terlihat sedikit menyamping dari arahku, Dia berkata;


"Pak! Turunlah..., kabut sudah mulai turun...."

Sambil berbicara aku bertanya balik kepadanya,
"Dari mana Pak?"
dan Ia langsung menjawab, "Saya dari Gunung Pangilun, Padang Pak!"

Sambil menoleh ke kanan, aku bersorak pada Andre dari kejauhan sekitar 15 meter, "Ndre, kata Bapak ini kabut mau turun, balik kita Ndre?!!!"
sambil menoleh balik ke orang tersebut, ternyata orang tersebut sudah Hilang, dan aku masih melihatnya dari kejauhan lebih kurang 30 meteran dan hampir tertutup Kabut.
Dalam hati "Sungguh luar biasa dan hebat orang tersebut, bisa berjalan secepat itu", namun aku tak terfikir aneh-aneh saat itu. Langsung saja Aku berlari meninggalkan ladang Edelweis dan Andre menyusulku dari belakang.

Bersambung

Posting Komentar untuk "7 Hari Tersesat di Gunung Merapi ( Part 8-9 )"