Uji Nyali Pembawa Petaka : Penantian ( Part 2 )

By: Owl <(")
.
Rega yang menyadari Abee tertinggal di belakang segera berbalik, "Ada apa?" tanyanya.

"Rumah ini."

"Loh kenapa?" tanya yang lain terheran.

"Lebih baik kita batalkan niat kita untuk beruji nyali di rumah ini," ucap Rega dengan kawatir, Rega yakin perasaan tidak enaknya datang dari Abee. Perasaannya tentang akan ada hal buruk semakin kuat. "Rumah ini sangat berbahaya, apa lagi jika Abee ikut masuk," lanjutnya.

"Tapi kita tidak mungkin pulang tanpa masuk dulu kan? Ayolah, masa kita gugur sebelum berperang?" rengek Arian.

Rega meringis mendengar perkataan temannya yang keras kepala, "Tidak Arian! Rumah ini penuh kebencian."
.
BRAAKKK!
.
"??!!!" Mereka semua menoleh ke sumber suara yang ternyata Abee lebih dulu melewati pagar rumah itu, lalu mereka berlari menghampirinya.

"Aku melihat wajah itu, di jendela lantai dua," pandangan Abee terus menatap lurus ke arah jendela di lantai dua, sedangkan teman-temannya pun mengikuti arah pandang Abee namun mereka tidak menemukan apapun di sana.
.
Rega yang semakin merasa tidak enak segera mengeluarkan jimatnya dan memberikan jimat tersebut pada Abee. "Tolong pegang ini, aku akan lebih nyaman jika kau yang menyimpannya."

Abee menerima jimat itu dengan dahinya yang mengerut. Dipandangnya kantung berwarna merah itu dengan tatapan bingung.

"Apa itu?" tanya Arian.

"Tolong jangan lepaskan jimat ini selama kau berada di rumah itu."

"Baiklah, terimakasih," ucapnya seraya memasukan jimat itu ke dalam saku celananya.

"Kenapa hanya dia yang dapat jimat? Aku kan juga mau," keluh Alsa lalu melirik ke arah rumah itu lagi.

"Kau tidak memerlukannya." ucap Rega, lalu beralih pada Abee dan berkata, "Hmm Abee, bisakah kau menundukan kepalamu dan meminta maaf saat melewati pintu utama rumah itu?"

Abee hanya mengernyitkan dahinya lalu menatap rumah menyeramkan itu, "Oke," ia tampak mengerti.

"Kalian juga, ucapkan permohonan izin untuk memasuki rumah ini," ujar Rega pada Arian, Von, Fany dan juga Alsa.

"Meminta maaf ya?" Abee mengulang ucapan Rega.

"Ya, khususnya untuk seseorang" ucap Rega lagi.

"Ehh? Seseorang?" Arian mulai takut pada apa yang di bicarakan oleh Rega sang Indigo, tak terkecuali dengan teman-temannya.

"Kalian takut? Pulang saja," Rega membalikan tubuhnya berpura-pura untuk meninggalkan tempat itu.

"Heeehh! Tidak! Aku sudah susah payah meluangkan waktu dan membuat rencana dengan kalian.
Tidak akan menyerah sebelum berperang!" Arian berteriak dan mengepalkan tangannya di udara menandakan bahwa ia bersemangat.
"Bodoh! Pelankan suaramu," tegur Fany.
.
Rega pun berbalik, menggandeng tangan Abee dan Arian lalu menuntun mereka memasuki ruman itu. Rega memegang kepala Abee dan Arian lalu memaksa kepala mereka untuk menunduk, "Seperti yang ku katakan." mereka menunduk dan meminta izin kepada sang pemilik rumah.
.
Perlahan mereka berjalan beriringan memasuki rumah itu, mereka pun mulai menyalakan senter.
Rega semakin mempererat genggaman pada tangan Abee dan Arian, "Tolong jangan lepaskan."

Abee sendiri memang merasa risih, ia berfikir apakah Rega 'HOMO' dan mengambil kesempatan pada situasi seperti ini. Namun, ia juga bukan type orang yang akan bertanya jika telah di peringatkan.
.
Mereka memasuki ruang utama rumah itu, menyorot beberapa bagian ruangan dengan senter. Tampak dinding yang menghitam dan lumut yang tebal menghiasi ruangan itu, keadaan ruangan yang sangat kacau, keramik yang tak berbentuk dan udara yang sangat lembab menambah suasana semakin mencekam.
"Permis-"
.
BRAAAAKK!
.
Terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras hingga bunyi tersebut menimbulkan getaran.
Wajah Von mendadak pucat, Alsa menjerit seraya berjongkok lalu tanganya menutup telinganya dengan erat. Sedangkan Fany refleks menghambur ke arah Abee lalu memeluknya.

"Kalian yang membanting pintunya?" tanya Abee yang menatap ke arah pintu.

"Ti-tidak. Saat kami baru saja melewati pintu, sekilas aku merasakan hawa dingin di belakangku lalu pintu itu tertutup sendiri," jelas Alsa yang masih berjongkok sambil menutup telinganya, dari tatapannya matanya yang kosong tampak jelas bahwa ia ketakutan.

"Ohh," ucap Rega hanya ber 'Oh-ria'. Matanya pun menatap tajam ke arah pria yang berdiri di depan pintu dengan wajah berlumur darah yang menatap mereka dengan tatapan sinis.

"K-kau kenapa? Kau melihat sesuatu?" tanya Von sedikit berbisik, matanya mengikuti arah tatapan Rega, namun ia tidak menemukan apapun disana.

"Ahh tidak, aku hanya terheran pintu itu tertutup hanya karena angin," ucap Rega berbohong agar teman-temannya tak terlalu khawatir.
.
Mereka kembali berjalan pelan memasuki rumah itu lebih dalam, "Sepertinya benar dulu rumah ini sangatlah mewah" Von terkagum melihat beberapa barang antik yang berserakan di lantai, ia segera berjongkok dan berniat untuk mengambilnya.

"JANGAN!" teriak Abee tiba-tiba. Sementara yang lain hanya menatap heran ke arah Abee.
"Mungkin maksudnya jangan sentuh apapun karena rumah kosong pun ada penghuninya," ucap Rega meluruskan.
.
Abee mengedarkan pandangannya, ia merasa dari awal masuk ke rumah ini ia sedang di awasi dari suatu sudut. Kegelisahan pun tercetak jelas di wajahnya yang selalu terlihat tanpa ekspresi itu.

"Ayo kita ke lantai dua, mungkin di sana lebih menarik," ajak Von yang berjalan terlebih dahulu ke arah tangga.

"JANGAN!" teriak Abee lagi, mereka semakin curiga dengan sikap aneh Abee sejak melihat rumah ini.
"Ada apa dengan mu?

"Lantai dua telah terbakar habis."

"Bagaimana kau tau? Memangnya kau pernah kesini?"

"INI RUMAHKU!" seru Abee membuat teman-temannya ternganga tidak percaya, hanya Rega lah yang berekspresi santai seolah ia telah tahu sebelumnya, "Sudah ku duga."
.
Suasana menjadi hening sesaat, mereka masih tidak percaya apa yang Abee katakan. Jika di lihat dari penampilan tidak tampak seperti orang berpunya, namun setelah mengingat bahwa Abee mengenakan motor 250cc saat ketempat ini membuat mereka agak yakin.

"Kalau begitu di lantai dua adalah kamarmu? Ayo kita lihat," Arian menarik lengan Rega dan otomatis Rega menarik lengan Abee.

"Sebaiknya jangan," ucap Rega menahan tarikan tangan Arian.

"Ayolah hanya melihat saja kok, setelah itu kita turun lagi," rengek Arian.

"Ya aku juga penasaran," seru teman-temannya yang lain juga.

"Bagaimana Abee?" tanya Rega meminta persetujuan.

"Hm." yang di tanya hanya berguman.
.
Perlahan mereka mulai menaiki tangga yang ada di ruang utama, bergandengan satu sama lain untuk mengurangi kekhawatiran.

"Sebentar!" ucap Rega tiba-tiba. Ia terdiam dan merasakan bulu kuduknya meremang.

"Hmm sebaiknya kita turun saja ya? Jangan ke lantai dua," Rega mulai berbalik dan menuruni tangga lalu di ikuti oleh Abee.

"Kita sudah setengah jalan, nanggung sekali. Ayolah hanya melihat saja," keluh Von. Sementara Fany dan Alsa semakin mengeratkan genggaman mereka, mereka lebih setuju untuk turun namun terdengar kata "Oke" dari mulut Rega. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju lantai dua.
.
Rega menarik nafas untuk menenangkan dirinya, ia menundukan kepalanya setelah ia melihat sesosok pria yang menunggu mereka di puncak tangga. Terliat pria itu mempunyai aura hitam pekat, mata merah itu terus menatap tajam ke arah Abee, wajahnya yang setengah terbakar dengan bibir robek selalu menunjukan seringaian mengerikan. Tangan dari pria itu juga menggenggam sebuah pisau kecil.
.
Setelah sampai di lantai dua, pria itu selalu berusaha mendekati Abee. Rega mengeratkan genggamannya pada tangan Abee dan berkata, "Genggam selalu jimat pemberianku tadi."

Abee yang merasa janggal pada tingkah Rega pun segera mengeluarkan jimat pemberiannya.
.
"Woaaahhh inikah kamarmu dulu?" tanya von segera menghambur ke sebuah pintu yang bertuliskan 'Abee Albyan'.

Von segera membuka pintu itu dan menatap kagum pada kamar Abee yang terlihat sangat bersih seolah tak pernah ditinggalkan.

"Ini sangat aneh, 8 tahun rumah ini di tinggalkan. Seharusnya minimal kamar ini berdebu," ujar Alsa seraya menyentuh meja belajar Abee yang berada di dekat jendela. Tidak ada setitik debu pun yang menempel di meja tersebut.
.
Dengan ragu Rega menoleh ke arah pintu, mendapati sesosok pria tadi berusaha memasuki kamar Abee, namun tidak bisa seperti terhalang oleh sesuatu.

"Sudah sangat lama, aku sangat merindukan harum seprai yang baru saja di cuci seperti ini," Abee menjatuhkan dirinya di ranjang, mengusap seprai itu lalu menciumnya.

"Sepertinya enak jika malam ini aku tidur di sini," Arian ikut merebahkan tubuhnya di kasur Abee.

"Kalau begitu kau tidur saja sendiri, aku mau pulang," ucap Fany yang merasa aneh dengan kamar ini. Ia mengederkan pandangannya ke segala sudut ruangan. Tiba-tiba mata Fany tertuju pada sebuah buku usang yang berada di meja tepi ranjang Abee, "Ehh kau suka membaca novel? Tertulis karya Kuro~suke~ Zhen," Fany mengeja tulisan dibuku tersebut yang telah mengabur.

"Itu novel karya kakak ku."

"Heh? Kau punya kakak seorang penulis? Tapi mengapa ada di kamarmu?" tanya Von.

Abee membelalakan matanya seperti telah tersadar akan sesuatu, "Aku tidak tahu. Ayo cepat selesaikan uji nyali ini lalu kita pergi," Abee segera beranjak dari kasurnya lalu menggenggam tangan Rega dan menariknya untuk segera keluar. Tiba-tiba...
.
DOOR.. DOOR.. DOOR..
.
Terdengan suara gedoran di dinding seperti seseorang tengah memukul tembok dari sebelah ruangan.
"KYAAAAAAA~" Alsa kembali berteriak seraya menutup kedua telinganya erat, hampir saja dia akan menangis jika saja Von tidak menenangkannya. Fany memeluk erat Arian yang juga merasa takut.
.
BRAAAKK! BRAAAKK!
.
Gedoran itu berubah menjadi hantaman yang semakin menjadi, kali ini berasal dari pintu kamar di sebelahnya.
"Di sebelah itu ruangan apa?" tanya Rega, ia berusaha merangkul semua teman-temannya agar tidak berpisah.
"Kamar kakak ku."
.
BRAAAKK! BRAAAKK! BRAAAKK!
.
"AL~~"
.
-TBC-

Sumber Image : Brazil Image
Sumber Cerita : Horror Crepy Pasta Indonesia
User:Zhen

5 komentar untuk "Uji Nyali Pembawa Petaka : Penantian ( Part 2 )"