Apakah Pemakaian Styrofoam Dalam Produk Makanan Aman Bagi Kesehatan?

Masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di perkotaan, cukup akrab dengan styrofoam. Jika kita membeli makanan di pinggir jalan seringkali menjumpai makanan tersebut dikemas dengan kotak berwarna putih yang disebut styrofoam. Ternyata styrofoam sudah dikenal lebih dari tujuh dekade lalu dan dipasarkan oleh perusahaan Dow Chamicals yang membuatnya.
Pro-kontra pemakaian styrofoam bagi kesehatan.
Aneka bentuk styrofoam, manfaat dan mudaratnya.
Kemasan ini memang menarik, selain warnanya yang putih bersih juga bobotnya sangat ringan, harganya pun murah sehingga banyak disukai orang. Dalam proses pembuatan styrofoam melibatkan pencampuran gelembung udara, sehingga mengembang dan membuatnya ringan seperti busa.

Namun ternyata masih ada kontroversi, pro-kontra di masyarakat mengenai penggunaan styrofoam untuk membungkus makanan. Mulai dari isu kesehatan sampai masalah lingkungan.

Benarkah styrofoam berbahaya bagi kesehatan dan tidak ramah lingkungan? Dirangkum dari berbagai sumber, berikut fakta dan mitos tentang penggunaan styrofoam yang perlu kita ketahui.

Bahaya Styrofoam Bagi Kesehatan

Styrofoam adalah salah satu varian dari zat bernama polystyrene (PS) atau polistirena. Polystyrene adalah polimer dari monomer stiren yang terbuat dari minyak bumi. Pada saat proses pembuatan polystirene, ada beberapa monomer stiren yang tidak ikut bereaksi dan mengendap menjadi residu pada styrofoam. Residu stiren ini berpotensi terlepas dan bergabung dengan produk makanan sehingga perlu diperhatikan dan dibatasi jumlahnya.

Menurut Akhmad Zainal Abidin, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, styrofoam aman digunakan untuk kemasan makanan sehari-hari. Menurutnya, kandungan stirena memang memilik zat karsinogenik yang dapat memicu pertumbuhan kanker saat berpindah pada makanan yang dikonsumsi tubuh. Akan tetapi, dipastikan styrofoam yang beredar di pasaran saat ini tidak menimbulkan kanker.

Dilansir dari laman CNN Indonesia, menurut Akhmad nilai asupan zat stirena yang berpindah dari styrofoam ke tubuh adalah 0,46-12 miligram per orang per hari. Dibandingkan dengan kandungan stirena yang juga terdapat dalam telur sebesar 10 mikrogram per kilogram, dan stroberi 274 mikrogram per kilogram, nilai stirena dalam styrofoam jauh lebih rendah dari batas aman yang ditetapkan.

Menurut Joint Expert Committee on Food Additives, salah satu badan yang dibentuk organisasi pangan dunia, FAO, nilai toleransi monomer stiren dalam tubuh manusia adalah 0,46 atau setara dengan 12,0 mg/orang/hari.

Menurut beberapa survei, konsumsi monomer stiren orang dewasa di beberapa negara seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru adalah pada kisaran 1 atau setara dengan 10 µg/orang/hari. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada batas aman sehingga penggunaan styrofoam masih diperbolehkan dalam pengemasan makanan khususnya makanan cepat saji.

Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga menetapkan batas maksimum toleransi monomer stiren pada produk makanan yaitu 5000 bpj (bagian per juta). Batas ini juga dipakai oleh US FDA, salah satu badan pengawas makanan di Amerika Serikat.

Batas maksimum oleh BPOM ini diperoleh dari hasil riset pada tahun 2009, melalui pengujian pada 17 jenis styrofoam makanan ( berbentuk gelas, mangkok, lunch box, dll). Diperoleh hasil residu monomer tertinggi adalah 500 bpj. Angka tersebut masih jauh dari batas maksimum, sehingga pemakaian styrofoam bisa dikatakan masih dalam kategori aman.

Namun demikian tidak berarti styrofoam tidak menimbulkan masalah kesehatan dan boleh bebas digunakan. Pemakaian styrofoam sekali waktu masih dapat ditolerir tubuh, namun jangan terlalu sering. namun untuk penggunaan yang terlalu sering akan terjadi penumpukan monomer stiren di liver. 

BPOM sendiri mengajurkan agar masyarakat tidak terlalu sering mengonsumsi makanan yang dikemas styrofoam, karena bagaimana pun ia mengeluarkan monomer stiren. Pemakaian styrofoam yang terlalu sering akan menimbulkan penumpukan monomer stiren di liver. Nah, monomer stiren yang tidak terurai ini akan menyebabkan liver tidak bekerja secara optimal dan terjadilah gagal liver. 

Menurut Ani Rohmaniyati, Kasubdit Standarisasi Produk dan Bahan Berbahaya BPOM RI, jika dikonsumsi dalam jumlah besar pada satu waktu, maka zat ini akan berbahaya bagi tubuh. Pada tingkat rendah stirena menyebabkan iritasi terhadap kulit, mata, dan saluran pernapasan atas. Paparan akut dapat menyebabkan gangguan pada sistem saluran pencernaan. Sedangkan, paparan kronis mempengaruhi sistem saraf pusat hingga kanker.

Selain itu, monomer stiren yang merupakan turunan benzena juga dapat mengganggu kelenjar endokrin yang berperan dalam proses reproduksi.

Sebagai peringatan untuk tindakan kehati-hatian kita, masyarakat dihimbau memerhatikan tiga hal saat menggunakan styrofoam :

1. Perhatikan adanya logo segitiga dengan kode 'PS' yang umumnya terdapat di kemasan makanan 'styrofoam',
2. Tidak menggunakan styrofoam dalam microwave,
3. Tidak menggunakan kemasan styrofoam yang rusak atau berubah bentuk untuk mewadahi makanan berminyak/berlemak apalagi dalam keadaan panas. 

Dampak Styrofoam Terhadap Lingkungan

Masalah kedua yang ditimbulkan pemakaian styrofoam adalah masalah lingkungan. Styrofoam termasuk zat yang sangat sulit diuraikan oleh tanah bahkan sampai ada istilah “ sampah abadi “ untuk kemasan ini. Selain itu pembuatan styrofoam yang menggunakan gas CFC dapat menimbulkan pemanasan global.

Bahkan BPOM pernah menyampaikan sejauh ini tidak ada satu negarapun di dunia yang melarang penggunaan 'styrofoam' atas dasar pertimbangan kesehatan. Kebijakan pelarangan di sejumlah negara justru berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan.

Pendapat bahwa styrofoam merusak lingkungan, ternyata juga tidak sepenuhnya diamini oleh para pakar.

Menurut Akhmad Zainal Abidin, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Institute Teknologi Bandung (ITB),, kemasan makanan polistirena sebenarnya adalah kemasan yang paling berkelanjutan untuk lingkungan.

"Sampah polistirena adalah sampah yang 100% bisa digunakan kembali. Sampah produk dari polistirena bisa dipecah, dan kembali dibentuk menjadi produk baru," katanya seperti disampaikan pada CNNIndonesia.com.

Sampah styrofoam memang tidak bisa diurai secara alami, butuh waktu seribu tahun agar terdegradasi. Namun dengan perkembangan zaman saat ini tidak lagi mengandalkan penguraian alami. Dengan teknologi saat ini masalah penguraian sampah styrofoam bisa diselesaikan dalam hitungan menit, dan tidak membutuhkan ruang yang banyak.

Menurut Akhmad memaparkan saat ini standar ramah lingkungan tidak lagi melihat bisa atau tidak terurai melainkan dengan bisa atau tidak didaur ulang. Daur ulang styrofoam lebih mudah dilakukan ketimbang kertas minyak sebagai bungkus nasi, misalnya, karena kertas itu dilapisi dengan plastik dan mesti dipisahkan terlebih dahulu saat didaur ulang.

Sampah styrofoam ini bisa didaur ulang menjadi kerajinan tangan, pigura, beton ringan untuk perumahan, hingga pembersih senyawa sulfur yang digunakan Pertamina. 
  
Namun bagaimana pun juga, penggunaan styrofoam perlu diawasi tidak hanya oleh pemerintah melalui BPOM namun juga dari berbagai kalangan baik itu masyarakat biasa, para pekerja kantoran, bahkan para siswa sekalipun.

Pemakaian styrofoam yang tepat guna dan tepat sasaran akan memberi kemudahan dan efisiensi bagi masyarakat. Selain itu kebutuhan akan lingkungan yang sehat dan bersahabat perlu ditumbuhkan pada masyarakat sebagai dasar untuk tidak membuang styrofoam sembarangan. Hal ini demi menghindari pemanasan global yang semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.

Posting Komentar untuk "Apakah Pemakaian Styrofoam Dalam Produk Makanan Aman Bagi Kesehatan?"