Asal-Usul Istilah Jancok, Umpatan Khas Arek Surabaya

Bagi masyarakat atau arek Surabaya, Jancok adalah umpatan khas. Bagi orang luar, umpatan jancok sering dianggap vulgar dan kasar. Namun dalam pergaulan sehari-hari arek Suroboyo, jancok adalah istilah pergaulan yang menunjukkan keakraban.
Asal-usul istilah Jancok.
Logo akun Twitter Jancok_Suroboyo

Jika kamu berkesempatan berada di tengah-tengah masyarakat Surabaya, maka kata jancok akan sering terdengar dalam percakapan sehari-hari dalam logat Suroboyoan. Baik di kalangan anak muda maupun generasi tua, sangat lumrah menyebut lawan bicaranya dengan sebutan "cok atau cuk" dan yang diajak bicara pun tidak merasa diumpat atau dipisuhi (Jawa).

Terlebih terhadap teman yang sudah dikenal, seringkali seseorang mengatakan, "Jancok, koen iku jek ket teko, iki wes jam piro cok ..." Yang artinya menegur teman yang datang terlambat. Kosa kata Jancok sudah menjadi tradisi lisan masyarakat lokal Surabaya dan kota-kota sekitarnya, seperti Malang, Mojokerto, Jombang.

Partikel "cok" dalam kata jancok sudah jamak digunakan sebagai akhiran kalimat dalam percakapan sebagaimana kita menggunakan "deh, iya deh" dalam percakapan Bahasa Betawi.

Bahkan kata jancok bisa menjadi indikator kedekatan atau keakraban dalam pergaulan. Semakin dekat dengan orang yang diajak bicara, maka makin sering terdengar kata jancok diucapkan dalam berkomunikasi. Bagi seorang seniman dan dalang nyentrik, Sudjiwo Tedjo (2012), jancuk merupakan simbol keakraban, simbol kehangatan sekaligus simbol kesantaian.

Yang menarik, kata jancok juga bisa dimaksudkan sebagai umpatan atau makian kepada orang lain yang menunjukkan makna marah, tersinggung atau teguran kasar. Membedakannya cukup mudah. Jika diucapan dengan nada tinggi dan penekanan, berarti itu sebuah makian atau teguran kasar. Seperti: "Jan..cok koen iku," atau "Oo.. jan..cokk!" Tapi jika marah pada teman sendiri, kata-katanya menjadi : "Jancokan koen iku".

Menurut Sudjiwo Tedjo, jancuk itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti.

Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.

Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah jancok memiliki makna “sialan, keparat, brengsek, sebuah ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa.

Selain jancok, kata kata-kata lain yang mirip makna atau bunyinya, yaitu seperti JancukDancok, Diancuk,  Jiancok, Mbokne Ancok, Cuk, Cok.

Inilah uniknya kata Jancok dalam budaya arek Surabaya. Namun dibalik fenomena istilah jancok, tak banyak yang tahu kapan dari bagaimana asal-usul kata jancok muncul.

Yang menarik lagi, dari berbagai sumber diketahui ternyata ada beberapa versi tentang asal-usul jancok.

Jancok Berasal Dari Kata Encuk

Menurut sumber ini, Jancok berasal dari kata 'encuk' yang memiliki padanan kata bersetubuh atau fuck dalam bahasa Inggris. Berasal dari frase 'di-encuk' menjadi 'diancok' lalu 'dancok' hingga akhirnya menjadi kata 'jancok'.

Ada banyak varian kata jancok, semisal jancuk, dancuk, dancok, damput, dampot, diancuk, diamput, diampot, diancok, mbokne ancuk (=motherfucker), jangkrik, jambu, jancik, hancurit, hancik, hancuk, hancok, dll. Kata jangkrik, jambu adalah salah satu contoh bentuk kata yang lebih halus dari kata jancok.

Makna asli kata tersebut sesuai dengan asal katanya yakni 'encuk' lebih mengarah ke kata kotor bila kita melihatnya secara umum. Normalnya, kata tersebut dipakai untuk menjadi kata umpatan pada saat emosi meledak, marah atau untuk membenci dan mengumpat seseorang.

Namun, sejalan dengan perkembangan pemakaian kata tersebut, makna kata jancok dan kawan-kawannya meluas hingga menjadi kata simbol keakraban dan persahabatan khas (sebagian) arek-arek Suroboyo.

Kata-kata ini bila digunakan dalam situasi penuh keakraban, akan menjadi pengganti kata panggil atau kata ganti orang. Misalnya, "Yoopo kabarmu, cuk", "Jancok sik urip ae koen, cuk?". Orang yang diajak bicara tersebut seharusnya tidak marah, karena percakapan tersebut diselingi dengan canda tawa penuh keakraban dan berjabat tangan dong... Hehehehe....

Kata jancok juga bisa menjadi kata penegasan keheranan atau komentar terhadap satu hal. Misalnya "Jancok! Ayune arek wedok iku, cuk!", "Jancuk ayune, rek!", "Jancuk eleke, rek", dll. Kalimat tersebut cocok dipakai bila melihat sesosok wanita cantik yang tiba-tiba melintas dihadapan. Hehe...

Akhiran 'cok' atau 'cuk' bisa menjadi kata seru dan kata sambung bila penuturnya kerap menggunakan kata jancok dalam kehidupan sehari-hari. "Wis mangan tah cuk. Iyo cuk, aku kaet wingi lak durung mangan yo cuk. Luwe cuk.". Atau "Jancuk, maine Arsenal mambengi uelek cuk. Pemaine kartu merah siji cuk.

Sejarah Kata Jancok

Menurut sumber ini, kata jancok memiliki sejarah yang masih rancu. Kemunculannya banyak ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang terdulunya yang salah tangkap dalam pemaknaannya. Beberapa negara tetangga orang-orangnya mengucapkan kata yang memiliki intonasi berbeda namun fon-nya hampir sama. Karena ada kata yang hampir mirip kata jancok yang diucapkan dengan ekspresi marah atau geram, maka orang-orang Jawa dahulu mengartikan kata jancok adalah kata makian. Setidaknya terdapat empat versi asal-mula kata "Jancok", yaitu :

Versi kedatangan Arab
Salah satu versi asal-mula kata “Jancuk” berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a artinya “kejelekan”, digabung menjadi Da’Suk yang artinya “tinggalkanlah keburukan”. Kata tersebut diucapkan dalam logat Surabaya menjadi “Jancok”.

Versi penjajahan Belanda
Menurut Edi Samson, seorang anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah Jancok atau Dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook” yang memiliki arti “kamu juga”. Istilah tersebut popular di kalangan Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an.

Istilah tersebut diplesetkan oleh para remaja Surabaya untuk mencemooh warga Belanda atau keturunan Belanda dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti “yantcook”. Hingga akhirnya kata tersebut berubah menjadi “Jancok” atau “Dancok”.

Versi penjajahan Jepang
Kata “Jancok” berasal dari kata Sudanco berasal dari zaman romusha yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kekesalan pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.

Versi umpatan
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (“Marijan berhubungan badan”).
Kata encuk merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti “berhubungan badan”, terutama yang dilakukan di luar nikah.

Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “diencuk”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”. 
Nah, versi terakhir ini mirip dengan penjelasan sebelumnya tentang asal kata Jancok dari kata Encuk.

Jancok Dari Jan Cox 

Di Indonesia khususnya di Jawa Timur sendiri, kata Jan Cox menjadi bahasa serapan disebut Jancok. Di sejumlah wilayah pulau Jawa, kata ini biasa digunakan sebagi umpatan.

Rupanya asal muasal kata Jancok sudah ada semenjak tahun 1945. Sebenarnya Jan Cox merupakan nama seorang seniman lukis (pelukis) asal Belanda yang lahir pada 27 Agustus 1919.

Ia dikenal sebagai pelukis terkenal di Belanda dan Belgia karena karyanya yang fenomenal. Jan Cox meninggal pada tanggal 7 Oktober 1980 di Antwerp, Belgia.

Namun anehnya Jan Cox sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Bahkan karya lukisan juga tidak ada yang di Indonesia.

Lalu bagaimana namanya terdengar sampai ke Indonesia tepatnya di Surabaya, Jawa Timur? Ternyata pada saat pasukan NICA Belanda yang membonceng Inggris mendarat di Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang, nama Jan Cox tertulis di salah satu tank mereka.

Pada masa Perang Dunia II, menuliskan nama sesuatu atau seseorang di badan macam tank, pesawat, atau bom memang biasa dilakukan oleh para tentara. Bisa jadi operator tank yang berasal dari Belanda termasuk mengidolakan pelukis Jan Cox, sehingga mencantumkan namanya pada tank yang berjsnis M3A3 Stuart buatan Amerika Serikat yang menjadi inventaris tentara Belanda.

Seperti diketahui babak akhir dari pendaratan NICA dan Inggris di Surabaya itu berakhir dengan pecahnya pertempuran 10 November 1945.

Nah, para Tentara Keamanan Rakyat (TKR/TNI kala itu) kemudian melihat tulisan Jan Cox di badan tank Stuart.

Uniknya nama Jan Cox kemudian diadopsi oleh para prajurit TKR untuk mengidentifikasi kalau ada tank milik musuh datang.

Mungkin juga jikalau prajurit TKR menyebut Jan Cox hati mereka seakan kecut dan kesal lantaran harus berhadapan dengan kendaraan lapis baja musuh dalam pertempuran.

Sementara para prajurit TKR saat itu tidak dibekali senjata anti-tank, sehingga sulit bagi mereka untuk melawan kendaraan lapis baja musuh.

Pada saat pertempuran itu banyak tank milik Belanda yang berseliweran, maka para prajurit TKR sering berkata : Jan Cox, Jan Cox! yang maksudnya mengingatkan teman-temannya kalau ada kendaraan lapis baja musuh. 

Dari sini, lama kelamaan pengunaan kata Jan Cox menjadi bahasa serapan masyarakat Surabaya hingga sekarang dan berubah kosakata menjadi Jancok yang merupakan umpatan khas Jawa Timuran.

Nah, itulah beberapa versi asal-usul istilah jancok yang merupakan umpatan khas arek Surabaya tersebut. Terlepas dari versi mana yang paling benar, yang jelas kata Jancok sudah menjadi ciri dan kebiasaan warga Surabaya yang sering diucapkan dalam setiap percakapan sehari-hari.

Posting Komentar untuk "Asal-Usul Istilah Jancok, Umpatan Khas Arek Surabaya"