7 Hari Tersesat di Gunung Merapi (Part 12-13)

Tersesat Hari 5
Aku tersentak, dan ternyata sudah pagi. Aku membangunkan Andre, dan kami memulai perjalanan hari kelima.

Aku putus asa, aku teringat ibuku, aku rindu ibuku. "Ibu, Aku Rindu bu...", hatiku sakit, kecewa karena sudah berhari-hari kami belum menemukan jalan pulang, seperti didalam labirin, tak ada pintu keluar.

Aku berbicara pada Andre yang sibuk mencari buah-buah kecil.

"Ndre, aku rindu sama Ibu Ndre.... "
"Kau rindu sama siapa ndre??!"

Dengan spontan Andre menjawab, "Aku kangen pacarku Peng!"

"Astaga!!!"
"Gila kau ndre, dengan kondisi gini pun kau tak rindu sama ibumu, malah sama pacarmu!! Gila kau ndre!!"

Mendengar jawaban Andre, aku sempat tertawa kecil, hatiku yang sempat pasrah tadi, berubah menjadi semangat karena lelucon Andre.

"Pacarku lagi apa ya Peng?! uda makan belum dia peng?!" Andre bertanya sambil mengumpulkan buah-buah kecil untuk coba dimakan.

Sambil berlari, aku berteriak " Ibu....ibu....ibu...tunjukkan jalan bu.....Ibu....."

Aku berlari sambil berlinang air mata, sementara Andre sibuk berjalan dan mengumpulkan makanannya.

"Peng, makan lah ini peng! ini bisa di makan peng!" Andre memberikan ku buah yang baru didapatnya sambil menggosok-gosok buah tersebut ke kulit tangannya untuk memastikan tidak beracun. "Ayo peng! makanlah"

"Aku tak berani memakan buah itu, bentuknya saja aneh ndre."

Sambil berjalan di rimbunan semak ilalang, akhirnya kami sampai lagi di tepian sungai. Akupun turun, setelah melewati batu-batu besar yang berada ditebing pinggiran sungai. Sebelum minum, aku merasa sangat sesak ingin pipis. Kubuka celanaku dan mulai pipis di dekat aliran sungai..."sss.....ssttt...."

Hampir 2 menit, air kencingku tak habis-habis,
"Aduhh, mengapa ini" fikirku dalam hati."Atau mungkin karena aku hanya meminum air tanpa makan?! ahhh sudahlah, yang penting akhirnya sudah usai"

Setelah pipis, aku mengambil air dengan tanganku didekat mata air dekat pancuran. Meminum air pertama, ketika kutelan, tiba-tiba air itu keluar dari hidung..."Asragfirullah", kuambil air berikutnya, tetap saja, keluar dari hidung, "Astagfirullah..., kenapa lagi ini?!"

Air itupun tak ada yang masuk keperutku. Andre yang sibuk memakan buah dan mencuci muka, tak tahu hal yang baru terjadi padaku.

Saat disungai inilah kami merasakan Hangatnya sinar matahari secara langsung. Disekitar sudah terlihat lebih terbuka, dan kami duduk berdua dipinggir bebatuan.

"Itulah ndre...kita sok-sok anak Alam, sekarang di permainkan oleh Alam, hahaha...."

"Lihat lah wajahmu peng?! uda seperti Tarzan!"

"Wajahmu juga ndre...Mirip anak seribu pulau, hahahaha...."

Kami mencoba menghibur diri sambil menikmati hangatnya sang mentari.
(*)

Jalan kami lanjutkan kembali, kali ini aku merasa sudah sangat dekat, karena sudah tidak banyak pepohonan besar, dan jalan setapak sudah mulai terlihat. Aku berlari dengan semangat, sambil menerobos semak-semak ilalang dan akhirnya kami bertemu dengan ladang tanaman pisang.

"Nah, ndre, lihat....kalau ada ladang pisang, berarti kita sudah dekat ndre, pasti ada yang menanamnya"

Andre terus berjalan dan mengumpulkan buah-buah kecil dijalan.

Malam kelima
Aku mematahkan beberapa daun pisang, untuk alas tidur malam ini,

"Kita bermalam disini aja ndre.."

Akhirnya kami menghabiskan malam dirimbunan batang pisang. Sambil melamun, Andre berbicara padaku "Peng, jantung pisang itu bisa dimakan loh peng!"

"Ahhh, Gila kau ndre, itu pahit ndre, jangan aneh-aneh aja kau ndre!"

Aku tak mau memakan yang aneh-aneh dihutan ini, karena hingga saat ini dadaku terasa teramat sesak, bahkan air pun sudah tak bisa masuk kedalam kerongkonganku.

Tersesat Hari 6
Ketika sebelum tidur, aku sempat berhalusinasi, aku seolah berada dirumah, ada Ibu, Ayah dan Adik-adikku. Aku makan bersama mereka, menikmati masakan Ibu, aku rindu rumah. Sambil berlinang air mata akupun akhirnya tertidur pulas.

Awalnya, sebelum tidur, Andre tepat tidur disebelahku, dan ketika pagi Andre menghilang. Ternyata Andre berpindah posisi dekat dengan tepian jurang.

"Ndre...!bangun ndre!!!"

Andre kaget karena tersentak dan heran mengapa bisa pindah posisi.

"Ndre, ayo kita lanjut ndre, ini sudah mau dekat..."

"Peng! kau bohong ya?!! waktu hari itu kau bilang sudah dekat lagi, tapi kok belum sampai-sampai juga peng!!"

"Tenang ndre, dekat lagi kok, tapi mungkin karena jalannya udah sedikit beda aja ndre" aku mencoba menghibur Andre, agar tak semakin putus asa.

Sebenarnya aku sudah mulai pasrah, karena tak juga menemukan Jalan pulang. Sambil berjalan, aku dan Andre akhirnya menaiki bukit yang dipenuhi Akar dan batang pohon. Akar itu, disela-selanya terdapat aliran air. Dengan daun itu, kami menampung air dan meminumnya, sedikit demi sedikit. "Auuhhh, dadaku terasa sakit". Beberapa batang akar itu dipatahkan oleh Andre, dan anehnya sangat banyak mengeluarkan Air, kamipun meminum air tersebut, tapi sayang, aku tak bisa banyak meminum air itu, karena tetap saja air itu keluar dari hidungku.

Aku pun melanjutkan perjalanan, sambil berlari agak cepat. Andre yang tertinggal dibelakang masih saja mencari dan mengumpulkan buah-buah kecil. Menurut pengakuan Andre, ketika itu andre sedang asik membuka semak-semak dipinggir tebing, dari balik semak Andre melihat ada beberapa -Kursi Raja, warna merah berlapis kuning. Kemudian Andre membuka semak disebelahnya, terlihat banyak arak-arakan orang, seperti pesta pernikahan. Ketika Andre melihat mereka, orang tersebut melirik ke arah Andre, dandanannya sungguh menor, menyeramkan, bedak tebal, gincu sampai keliling melewati bibir. Setiap lewat mereka melirik ke Andre. Tanpa rasa berdosa, Andre pun bertanya, "Peng, yang tadi kursi apa peng?!"


"Apa pula lagi yang kau lihat?!!!"


"itu peng, mirip kursi raja peng, trus, disitu ada arak-arakan pengantin dengan dandanan menor peng!"

Andre yang penasaran, ingin melangkahkan kakinya, dan dari jauh aku langsung memanggil " Ndree!!! ngapain lama-lama disana, Ayolah ndre, dari tadi aku menunggu disini.

Andre kaget, dan langsung berlari secepat kilat ke arahku.

"Peng! tadi kau gak lihat kursi disana?"

"Aduh ndree, gimana aku mau lihat, dari tadi aku nunggu disini!"

"Loh, jadi yang ngomong tadi siapa ya peng?!"

"Mana aku tau ndre, makanya, jangan aneh-aneh aja kerjaanmu ndre, ayolah kita jalan..."
(*)

Malam keenam
Sebelum tidur, aku sudah merasakan banyak yang aneh dari diriku. Air yang tak bisa diminum, dada yang terasa sesak, rasa putus asa sudah sering muncul. Padahal, awalnya aku yang lebih semangat dibanding Andre.

"Peng, malam ini baru terlihat bintang peng, cerah banget..."

"Iya ndre, Aku pengen pulang ndre..."

Aku pun bercerita-cerita dengan Andre, agar aku dan dia tak begitu frustasi.

"Peng, dulu ada di jawa barat peng, dua orang yang tersesat. Karena sudah kelaparan, mereka membuat undian, siapa yang kalah harus bersedia memotong jarinya untuk dimakan bersama..." Andre bercerita seperti itu sambil menatap ku.

Gak heran kalau aku menjadi -Paranoid mendengar ceritanya, "Ehhh, gila kau ndre, pergi sana, jangan dekat-dekat, kau tidur di situ, aku disini, jangan dekat-dekat ndre!"

Dalam mimpi atau tidak, umpama berhalusunasi, aku seperti mendengar suara-suara memanggil ku dari kejauhan. Tiba-tiba cahaya putih jatuh di hadapanku, dan akhirnya....

*hening....

Tersesat Hari 7
Bangun pagi, kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sungai berikutnya sehingga langsung kami awali dengan bercuci muka, dan minum. Lagi-lagi, air yang kumasukan dalam mulutku kembali keluar melalui hidung, "Astagfirullah...."

Dengan kondisi fisik yang sudah hampir lemah,
dadaku sudah semakin parah, aku berjalan sesekali memegang dadaku, memastikan tak akan terjadi apa-apa.

Kami berjalan lagi dan menaiki beberapa punggungan lagi, semakin tinggi dan tinggi. Kemudian terlihatlah hamparan seolah jalan setapak untuk kita berjalan. Sambil berlari melihat jalur itu, aku terus berlari sekuat tenaga. Setelah itu, aku begitu yakin bahwa jalan sudah semakin jauh tertinggal. Aku semakin yakin arah kami tak salah, dan ketika berlari, tiba diujung jalan aku langsung terdiam, pucat, "Astagfirullah" untung saja.

Ternyata jurang tinggi, aku beralih kekanan, ' Buntu, kiri, 'Buntu'.

"Akhirnya ndree, Mati juga kita nde..."
"kita sampai disini aja ndre, uda gak ada jalan lagi...."

Akupun terduduk memegang erat akar kayu, sambil pasrah.

"Tak mungkin kita selamat ndre,"

Kamipun terduduk tak bertenaga, melihat dan mendengar sudah pasti tak ada jalan keluar. Entah mengapa, beberapa jam setelah itu, ada bunyi orang sedang memotong bambu "Kletakk...kletukkkk..." dari kejauhan.

"Ndre, panggi ndre"

"Paaaaakkk.....!"

"Yuuuhuuuuu.."

"Tolong kami pak...."
" Siapa tu???"

"Kami pak, yang hilang di Merapi dari minggu kmaren pak...!"

"Manusia bukan???"

"Manusia Pak, tolonglah kami pak, kami manusia Pak...."

"Coba bakar sampah disana, angkat celana kalian atau Adzan...!!!"

"Korek gak ada pak!!! celana juga gk bakal terlihat pak...!"

Akhirnya Andre pun mengumandangkan Adzan sampai selesai....

Ketika Andre selesai Adzan....

"Pak tolong pak, tolong kami"

"Coba goyang-goyangkan pohon dekat posisi kalian"

".....srekkk..srekkk .."

"Hoi, naik kalian keatas sedikit, itu jurang!!!!"

Sambil berkomunikasi dengan sang Bapak selama 2 jam, barulah mereka tiba dan melihat kami berdua. Ketika baru melihat kami, Bapak itu sempat mundur, kaget, rasa tak yakin, memegang kapak dan parang, sambil komat kamit mengucap pelan "Astagfirullah, walhamdulillah, Astagfirullah..."

"Pak, kami manusia Pak, yang hilang beberapa hari di Merapi."

"Entah mengapa, setelah kami mendapat bantuan, badan yang sebelumnya kuat-kuat saja, kini berubah layu, selayu-layunya."

Bapak itu pun memeluk kami dan membawa kami turun bersama beberapa orang teman yang dibawanya.

Sampai dibawah, kami langsung dilarikan ke Rumah Sakit dengan mobil pengangkut Lobak milik warga. Sepanjang perjalanan, aku bertanya dengan Andre, "Ndre, gimana perasaanmu sekarang???"

"Luar biasa peng....luar biasa, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata!"

"Kalau disuruh ngulang, aku tak mau peng!! cukup sekali ini aja peng!"

"NGERI.....!!!"

Sesampainya di Rumah Sakit, tas yang berisi sebagian bunga Edelweis, dan tustel di pegang oleh Andre. Tapi, entah mengapa, tiba-tiba saja tas itu hilang, padahal banyak dokumentasi didalamnya, termasuk foto di ladang Edelweis, di Ranting pohon saat Andre bergelantungan, dlsb. Ada beberapa yang berasumsi diambil oleh makhluk gunung, ada juga yang menduga melihat diambil makhluk tinggi besar. Namun, menurut aku, yang ambil manusia biasa, karena saat itu tustel sudah merupakan barang mewah, saat itu saja harganya mencapai Rp.3jt'an.
(*)

“Tuhan tak akan menguji seseorang diluar batas kemampuan orang tersebut”

Setelah kita membaca beberapa versi dari teman-temanku (Andre, Firman & Nopeng), kini giliranku berbagi pengalaman diluar dari konflik hilangnya dua diantara kami berlima. Aku memang bukan korban, namun, aku sungguh merasakan keresahan teramat dalam atas peristiwa itu. Saat kedua temanku terpisah dengan kami, saat aku menyadari mereka hilang, hingga saat mereka di vonis telah "Tiada" oleh tim SAR.

Mungkin kisahku tidak begitu menarik, tak pula horor, namun aku akan sedikit berbagi keadaan saat itu, saat kita semua yang ada disini berada di Posisiku, dan ini versiku.
(*)

Aku mengenal Nopeng sejak kecil, kami berdua sudah akrab sejak kecil. Sekolah bersama, mengaji, mengejar layangan di atas genteng rumah, mandi di kali, memanjat pohon "karambia" atau orang biasa menyebutnya pohon kelapa.

Nopeng memang memiliki jiwa petarung, dari kecil kegigihan dan jiwa yang terpatri dari dirinya sudah terlihat. Terbukti ketika kami bersama mengejar layangan putus, saat itu layangan itu hampir mendarat di sebuah persawahan. Dengan semangat ksatria, Nopeng berlari menerobos setiap semak-semak, ranting-rantingnya yang halus tetap akan melukai kulit kami yang masih lemah saat itu. Tapi, temanku ini tak perduli, goresan ranting itu bisa digantikan dengan senyuman ketika kami berhasil mendapatkan sebuah layangan. Hingga kami tiba di ladang padi seorang petani, karena terlampau semangat akhirnya padi-padi itu tertidur karena patah terinjak-injak kaki kami yang imut.

"Hoiiiiii, kalian....!!!! Rusak padi dennnn!!!"
(Hoiiiii, kalian.....!!!! Rusak padi kuuuuu!!!")

Seorang pemilik sawah berteriak sambil menunjukkan -celuritnya keatas.

Melihat teriakan itu, spontan kami berdua lari terbirit-birit, dan bersembunyi di rimbunan pohon -rimbang. Layangan tak dapat, malah kami jadi tak bisa keluar rumah karena pemilik sawah masih berkeliling-keliling mencari keberadaan kami, sungguh lucu saat itu.

Akhirnya, kami berpisah setelah SMP, dan kami bersekolah di sekolah yang berbeda. Namun, diluar jam sekolah kami tetap bermain bersama.
Dijamanku, tak seperti saat ini. Kami sungguh sangat merasakan detik demi detik perjalanan hidup menuju dewasa.

Ada sesuatu hal yang kami takutkan saat itu. Walau Nopeng dan aku terkenal dengan kebengalannya, dulu, ketika SD kami sangat takut di Sunat, karena, kami selalu di hantui oleh cerita-cerita pemuda yang sering nongkrong di warung, kalau sunat itu mengerikan.

"Oiyy, yuang! hati-hati kalian kalau sunat nanti..., burung kalian tu nanti ditarik, dijepit pake tang, trus di gunting sampe batangnya habis, hahaha"

Setiap bertemu, kami selalu ditakut-takuti dengan hal itu, mereka selalu tertawa terbahak-bahak setelah mengarang cerita itu dan berhasil membuat kami menunda-nunda untuk di sunat.
Tapi ternyata, setelah Nopeng mencobanya, ia tersenyum,

"Yop, gak sakit kok cuma seperti digigit semut..."

Melihat ekspresi dan perkataan temanku, akhirnya aku semangat untuk di sunat. Ketika hendak memakai sarung, Nopeng menyambung kalimatnya,

"Maksud aku Yop, seperti digigit semut, tapi semutnya sebesar gajah.....Sakkkiikk bana Yop!!! Sakikkk!! (Sakit kali Yop!!! Sakit!!).

Langsung saja aku meloncat dari tempat tidur mantri tersebut, aku berlari terpontang panting, tanpa celana. Sarungku terpaksa tertingga di tempat mantri tersebut Praktek.
Tapi pada akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka aku harus di -Sunat.
(*)

Ketika SMA, Akhirnya Aku dan Nopeng dipertemukan kembali. Kami kini berada di Sekolah yang sama. Di Sekolah inilah Aku dan Nopeng mengenal -SISPALA. Karena saat itu ini masih baru, kami penasaran dan mendaftar untuk mencobanya.

Ternyata, SISPALA justeru banyak memberi kami Ilmu. Kami banyak menggali ilmu-ilmu Alam, Camping, dlsb. Hingga pada suatu hari kami diikutkan untuk mengikuti pendidikan diluar SISPALA demi memperdalam Ilmu 'Kecintaan Kami Terhadap Alam'. Dalam program inilah Aku menjadi lebih dekat dengan Iwan, Firman, dan Andre. Kami dipertemukan disini, hingga membentuk jiwa kami menjadi petarung-petarung yang boleh dikatakan -Siap dilepas dihutan belantara sekalipun. Mengikuti program ini membuat jiwa kekeluargaan kami menjadi lebih kuat, rasa persaudaraan dan persahabatan menjadi lebih kental kurasakan.

Mereka biasa memanggilku -Uncu, karena dari segi perawakan, mereka mengatakan aku terlihat lebih dewasa, Mungkin.

Setiap ada sebuah event yang berkaitan dengan Pecinta Alam, Firman, Nopeng, Iwan, Andre, selalu kami ikutkan, dan Alhamdullillah selalu menang. Kami cukup memegang kendali dalam oranisasi SISPALA di sekolah, walau masih ada senior satu tingkat diatas kami, kami tetap menjadi orang yang berpengaruh. Hingga saat senior-senior ku tamat, kami berlima lah yang meneruskan serta menguasai -Tahta dan -Kerajaan mereka.

Sebenarnya, niat ke Merapi timbul karena, dua minggu lagi kami akan mengadakan pelatihan dan pembekalan Anggota SISPALA baru. Namun, saat itu dari kami berlima, hanya aku yang sudah pernah ke Merapi, mereka belum pernah sama sekali.


"Uncu, kita kan ada rencana mau mengadakan pembekalan Anggota ncu, gimana kalau kita minggu depan Mempelajari medannya dulu, kita kan belum pernah ke Merapi. Lucu banget kalau nanti junior bertanya pada kita, kita gak tau medannya.."


Mendengar teman-teman berbicara seperti itu, akhirnya kami sepakat pergi ke Merapi sabtu depan dengan mempersiapkan segala perlengkapan dari sekarang. Termasuk meminta izin kepada orang tua masing-masing.
(*)

Aku sangat sulit mendapat izin untuk pergi mendaki, setiap meminta izin, selalu terkena marah oleh orang tua ku. Namun, pada akhirnya aku tetap pergi dan orang tua ku tetap memberi bekal. Berbeda halnya dengan Andre dan Nopeng, kalau aku tak salah, saat itu Nopeng minta izin dengan Alasan "Menghadiri Acara Pernikahan" Kakak temannya, sedangkan Andre "Menghadiri Acara Perpisahan Teman" yang kebetulan Menggunakan Sound System milik Adik sepupunya di -MALIBO. Rencananya, setelah mendaki, Andre ingin menyempatkan diri dalam Acara itu dan Nopeng tak mau kalah ingin ikut juga.

Setelah sabtu tiba, sehabis pulang sekolah kami berkumpul di Camp. Saat itu, kamar pribadiku lah yang kami jadikan Camp tempat kami berkumpul. Setelah memastikan persiapan pendakian, kami pun mulai bergerak menuju Koto Baru. Saat itu, kami hanya anak sekolah, dan berusaha meminimalisir pengeluaran, sehingga kami hanya menumpang di Bus Lintas Sumatera menuju Koto Baru. Itupun kami naik dijalan, sehingga bisa nego harga dengan stokar bus tersebut. Saat itu yang hendak ke Koto Baru cukup banyak, hingga kami harus berdiri sepanjang perjalanan. Sesekali duduk di lantai bus, berdiri lagi, duduk di pinggir kursi, bermacam-macam gaya pun kami lakukan untuk mencari posisi enak untuk duduk. Terkadang Nopeng memulai leluconnya, bercanda-canda, sambil menggoda seorang wanita yang juga hendak menaiki Merapi saat itu.

Sepanjang perjalanan, kadang sesekali mataku berat, tertidur, terbangun, tersentak, dlsb. Hingga setelah beberapa jam didalam bus, kamipun berhasil sampai di Terminal Koto Baru dengan selamat.

Bersambung


Posting Komentar untuk "7 Hari Tersesat di Gunung Merapi (Part 12-13)"