7 Hari Tersesat di Gunung Merapi ( Part 2 - 3)

Nopeng di tengah kepanikannya, “ndre kita ke bawah yuk, siapa tahu itu mayat yang di buang orang ndre, kita selamatkan jasadnya”
langsung kujawab, ”peng, tunggu dulu, tadi dia kau bilang pakai rok kan, mana mungkin ada pendaki gunung pakai rok peng, mana tahu itu jebakan makhluk halus disini. Kita berdoa saja peng, mudah-mudahan Tuhan memberi jalan keluar pada kita”.

Lalu aku sambil terus memohon agar tidak dihantui makhluk gunung, Nopeng yang tetap mengambil posisi mencari jalan keluar dari gunung yang mulai menakutkan ini. Kami tak melewati jurang itu tapi mengambil sisi kiri di bibir jurang melewati rimba belantara tak bertuan. Berjalan semakin cepat, berkali-kali aku tertinggal di belakangnya dan terus menyorakinya agar berjalan pelan-pelan. Di tengah perjalanan aku pun mulai pasrah, aku tanya pada Nopeng, ”Masih jauh Peng?”
Nopeng menjawab “gak ndre, sebentar lagi kita sampai, di bawah ini ada jalan raya, kita sampai nanti, bertahanlah, kalau sudah sampai di bawah ada nasi goreng, teh manis, kita nanti pulang numpang dengan truk saja, aku pernah lewat sini ndre percayalah” katanya meyakinkanku yang sudah putus asa.
Awalnya aku percaya saja, tapi akhirnya aku tahu, bahwa kawanku ini berbohong. Dia hanya tidak ingin melihat aku putus asa dan menyerah.
Lalu, dengan seketika langsung kulepaskan sandalku kedua-duanya, kemudian kubuang. Ini kulakukan karena kulihat si nopeng sudah tidak pakai sandal lagi dan dia hanya pakai baju tanpa lengan, dan celana lapangan yang pendek. Melihat tingkahku ini nopeng bertanya “kenapa kau buang sandal kau ndre?
“kan kita sudah dekat, lanjut aja gak apa-apa, lagi pula kau juga sudah gak pakai sandal, biar sama kita” jawabku. Sandalnya putus waktu dia jalan di depan untuk membuka jalan.
Tak lama kemudian aku yang masih di belakang, mendengar suara “brukkkkkk”. Ternyata nopeng terjatuh ke jurang (kami berjalan di punggungan bukit-bukit, sehingga tak nampak kalau ada jurang yang demikian dalam dan nopeng terjatuh kebawah) “Peng…!” teriakku, dan kudengar jawaban dari bawah sana yang lumayan jauh suara tersebut kudengar, “jauh peng?” tanyaku
“lumayan ndre, turunlah pelan-pelan” jawab Nopeng.

Akhirnya aku turun dengan bertahan pada satu batang kayu kecil yang menempel di tanah, dan beberapa detik kemudian, aku terjatuh. Masih sempat kurasakan ada benda yang menghantamku dari belakang, lalu kemudian semua putih (ini masih kuingat jelas). Aku seperti bermimpi ada di rumah Tanteku, berbicara dengan salah satu penyanyi organ tunggal, aku memanggilnya Uni, dia seperti sosok kakak bagiku. Kemudian aku merasa seperti terguncang-guncang, kurasakan mataku agak terbuka, kulihat ada seseorang di atas tubuhku yang mencoba membangunkan dan memanggilku, “ndre, ndre, bangun, jangan mati”
aku menjawab", oh kak, ada apa?
“bukan ndre, kau lupa sama aku’? kata suara tersebut,
“oh iya, angah kan, ada apa ngah?” jawabku lagi
“ya ampun ndre, sadarlah, aku nopeng, kawan kau, nopeng ndre” kata nopeng sambil menguncang-guncang kepalaku,
“oh iya, ada apa peng? kenapa?”
“syukurlah ndre kau gak mati, coba kau tengok sekeliling!"
Aku pun melihat sekeliling, kulihat semua hijau, dan kudapati aku sedang berada di pinggir sungai di dekat bebatuan yang airnya mengalir deras. “Kita tersesat di gunung ndre, ayolah ingat semuanya, cepatlah, hari mau gelap, kita cari tempat untuk istirahat!", kata si Nopeng yang keningnya berdarah, karena terjatuh ke jurang tadi, dan karena kebesaran Tuhan, dia tidak pingsan sepertiku. Namun ketika aku hendak berdiri, tanganku sebelah kiri tak bisa di gerakkan.
“peng, tangan ku tidak bisa bergerak, tolong peng” kataku. Nopeng langsung berbalik arah dan memegang tangan ku, serta menyentakkannya, "krak!!!", “udah tuh, coba berdiri dan cepat jalan, hari udah gelap,” kata Nopeng. Dan ajaibnya, tangan ku langsung kembali normal.
Aku menyusul nopeng dari belakang, dan kami naik kearah atas, dan tidur di batang kayu yang sudah tumbang. Di tengah istirahatku, aku kembali mengajak nopeng berbicara, “peng, aku haus, gimana nih?".

Sangat wajar, selama kami tersesat kami tidak membawa golok, senter, baju ganti, sepatu, semuanya kami tinggalkan bersama ketiga rekan kami yang di bawah. Di dalam tas hanya ada tustel, garam, tiga siung bawang merah yang tidak sengaja terbawa, dua batang rokok kretek, dua sachet ekstra jos, yang sudah habis kami makan, tanpa air. Di tengah gelapnya rimba, aku merasa haus sekali, “udahlah ndre, istirahat aja dulu, besok aja minum, atau kalau kau berani turun lah kebawah, di bawah ada sungai, minumlah, kalau aku tak berani ndre”.
Aku pun terdiam mendengar jawaban kawanku ini, tiba-tiba aku langsung kebelet pipis, dan seketika muncul ide untuk meminum -urine- ku sendiri. Tanpa menunggu lama-lama, tanganku sudah penuh air -urine-ku, dan langsung kuminum semuanya. Ini nyata, dan juga kuceritakan pada salah satu wartawan yang meliput ketika aku berhasil keluar dari cengkeraman rimba merapi.

“APA,” JAWAB NOPENG pelan,
“oh, kupikir kau mati peng. Itu, dikening mu ada lalat besar-besar, hinggap,” kataku.
“biar ajalah ndre, aku capek.”
Dan kami pun akhirnya terlelap, hujan pun terus menerus turun.

Paginya ketika terbangun, yang tampak di sekeliling mata memandang hanya hijau, air sungai yang mengalir. Disini aku masih melewati jalan-jalan yang semakin terjal, fisik sudah sangat melemah, tangan membengkak. Entah berapa puluh duri yang masuk ke tangan kami, kakipun juga bengkak, karena menempuh medan berat tanpa alas kaki. Terutama kawanku nopeng, celana yang dia kenakan pertama kali mulai mendaki gunung ini, terlihat pas di pinggang, namun saat itu sudah hampir turun setengah.
Teriakan-teriakan minta tolong sudah jarang kami keluarkan. Berjalan terus menatap dan berharap ada setitik asa di hari keempat ini, kami melewati jalan-jalan rimba. Nopeng paling depan, dan selalu cepat jalannya, aku terus tertinggal di belakang. Barang kali, ini yang membuat kami rajin perang mulut.
Hingga kami bertemu lagi dengan jurang yang tidak begitu tinggi, air mengalir deras ke bawah, disinilah aku dan nopeng terpisah hampir dua jam lamanya. Nopeng yang jalan pertama mencoba mendaki sisi jurang sebelah kiri. Karena kemampuan climbingnya baik, dia pun lolos ke atas sisi jurang tersebut, dengan berpegangan pada rumput yang tumbuh di sisi jurang tersebut. Namun aku masih tetap di bawah, dia sudah tak nampak dari pandanganku.

“peng, gimana aku mau lewat, jalan keatas rumputnya sudah tak kuat lagi” teriakku,
“lewat aja dari sungai itu ndre, lompat aja!!!” jawab Nopeng dengan suara yang menggigil,
“gak mungkin peng, aku takut air sungai ini dalam, arusnya cukup besar” jawabku.

Kami terdiam beberapa saat,
”ndre lewat ajalah, nanti gak bisa kita mencari tempat istirahat, lompat ajalah, kalau kau mati, aku juga mati”, Aku tak punya pilihan, kukumpulkan semua nyaliku, kututup hidungku, “Bismillah...” aku pun meloncat.
Sepersekian menit aku dibawa arus, kupaksakan untuk berdiri. Ternyata air sungai itu dangkal. Mataku langsung menjelajah, ke segala penjuru, mencari Nopeng, ternyata dia duduk di atas sisi jurang yang agak datar sambil menggigil dan tersenyum melihatku basah-basah.
“peng aku selamat”, kataku penuh semangat, “Alhamdullillah, tapi bajuku basah semua peng.”
Kemudian, kami mulai mencari jalan untuk mencari tempat istirahat. Kami menemukan batang pohon yang sangat besar, berdiri kokoh, dan di bawah batang itu ada sebuah lubang. Langsung saja kami memutuskan di tempat ini akan beristirahat. Dengan kondisi yang semakin melemah, namun anehnya kalau dipaksakan, tubuh ini terasa kuat saja.
Nopeng langsung tertidur, maklum dia yang selalu pimpin jalan. Sambil sesekali mengigau, ”bu…,bu…," dia memanggilku Ibunya.
Aku masih belum tertidur saat itu, aku duduk dan menangis sejadi-jadinya, kukeluarkan -scraft, Sispalaku, kusapu semua air mataku hingga seluruh bagian scraft itu basah. Aku ikat ke salah satu batang pohon yang ada di tempat kami akan tidur pada malam itu, dalam hati ”jika nanti aku harus mati di perjalanan ini, maka scraft ini adalah bukti, bahwa aku pernah tersesat di gunung ini”, lalu aku tertidur, dan malam itu tidur kami lumayan tenang.
(*)
Hingga hari kelima, aku lagi-lagi patah semangat, pasrah dan merasa tak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, argument Nopeng hari itu sangat membangkitkan semangatku. “Ndre, kita sama-sama tidak tahu apa ujung perjalanan kita, kita hanya berusaha, dan nanti jika kita harus mati, izinkan kita mati di tepi jurang, agar Tim SAR bekerja keras untuk mengangkat jasad kita!, kalau kita cuma ditemukan disini, terlihat sekali kita tak berusaha, ayolah kawan, perasaanku sudah agak dekat ini”.

Akupun langsung bersemangat lagi, dengan susah payah kupaksakan berdiri, di ujung mataku, kotoran mata sudah bercampur dengan tanah, benar-benar kumal, aku ikuti langkah sobatku, sambil terus mencoba berusaha memakan yang aku rasa bisa dimakan. Ternyata jalan belum juga kami temukan, aku dan nopeng mulai menikmati perjalanan ini, walau dengan terpaksa.

Sepanjang perjalanan, aku bernyanyi sekuat-kuatnya, mulai dari satu album lagu Band Padi, hingga lagu Rossa “gapai semua jemariku...” melankolis memang, tapi lagu itu merupakan lagu yang paling sering kunyanyikan, karena betapa rindunya aku bertemu orang-orang, minum teh, dan berharap ada tangan atau jemari yang membantu kami berdua keluar dari rimba belantara merapi yang mulai tak lagi nampak indah.

Malam kelima kami kembali tidur di tepi sungai, untungnya tidak hujan malam itu, dengan beralaskan daun-daunan, dan beratapkan langit, kami melepas penat setelah berjalan seharian. Malam itu aku tidur terakhir, Nopeng sudah terlelap lebih dulu. Aku mencoba rebahan untuk tidur, Namun, tiba-tiba entah halusinasi atau tidak, dari atas langit aku melihat ada empat buah cahaya dengan bentuk yang berbeda-beda turun ke bawah. Cahaya ini tak menakutkanku, malah begitu dia hilang dari pandangan, aku langsung tertidur, dan bermimpi. Malam itu papaku datang menyusulku, mengajakku pergi, tapi dia tidak bicara, hanya diam saja, aku kejar papaku kala itu, namun dari sebelah kiri dan kanan banyak yang menawariku untuk singgah dan minum kopi bersama mereka. Ajakan itu kutolak dan aku terus mengejar papaku, hingga aku tersandung dan terbangun.

Hari sudah mulai agak terang, walau belum begitu terang karena sinar metahari tertutup tingginya hutan belantara. Hari keenam, kondisi benar-benar lemah, namun Nopeng seperti tiada lelahnya, dia tetap semangat memotivasiku untuk terus bertahan hidup. Tiada pilihan, perjalanan pun dilanjutkan kami tetap mengikuti arah sungai. Namun hari keenam itu, sekitar tiga jam perjalanan aku dan Nopeng dapat merasakan hangatnya sinar mentari penuh, aku makin kuat bernyanyi, seolah-olah yakin akan adanya kehidupan dan aku masih di beri kesempatan untuk hidup.
Begitu juga Nopeng, banyolan-banyolannya, membuat perjalanan yang sedih dan mengharukan, jadi lebih indah, namun karena banyak istirahat, malam itupun kami belum menemui ujung aliran sungai tersebut. Kami justeru menemukan banyak batang pisang di hari keenam itu. Aku yang begitu semangat mengambil pisang tersebut, namun di dalamnya banyak sekali benda-benda keras seperti batu kecil, dan tak bisa dimakan. Kami beristirahat beralaskan pelepah daun pisang.

Paginya ketika kami terjaga di hari ketujuh, di atas pohon sepertinya kami ditonton oleh beberapa binatang seperti monyet, namun bulunya berwarna kuning, dia meloncat kesana kemari. Aku langsung membangunkan nopeng, “Peng banyak monyet di atas sana, warnanya kuning”,
Aku coba menjelaskan pada Nopeng. Nopeng melihat keatas, dan melihat monyet-monyet itu begitu bising, dia melanjutkan tidurnya. “Telungkup aja kau peng, supaya kalau monyet itu terjatuh, dia tak menerkam muka kita” Nopeng cuek aja, aku langsung telungkup dan melanjutkan tidurku.

Kemudian aku tersentak, dan kulihat nopeng menumbangkan sebatang pohon pisang yang aneh itu, dia mencoba memakannya, namun tak jadi karena banyak batu-batu di dalamnya, “Pisang apa ini?”, kemudian kami melanjutkan perjalanan kami, “sudah dekat ini ndre” Nopeng berkata penuh semangat. Aku tidak membantah, memaksa bangun dan melanjutkan perjalanan kami. Baru sekitar 5 jam kami berjalanan, Nopeng yang paling depan teriak di atas jurang. ”Ndreeeee… ada perumahan penduduk, disini akhir jalan kita ndre, tapi jalan turun sudah tidak ada lagi, sepertinya kita Mati ndre...!”

Kami mendapati jurang air terjun yang sangat tinggi, tak mungkin untuk dituruni. aku semakin melemah, Nopeng tetap berusaha mencari jalan keluar, dan di sebelah kiri jurang tersebut ada pohon-pohon bulu (bambu). Nopeng naik ke atas hutan bulu itu, namun memang jalan turun tidak nampak lagi. Akhirnya kami pasrah, ”kita mati juga akhirnya” kataku.

Tak lama berselang kami mendengar dari arah bawah, seperti ada suara orang lagi memotong batang bulu. "klutak…, klutak….," Nopeng menginstruksikan aku supaya berteriak. Karena dia sudah tidak sanggup lagi untuk bersuara, dadanya sakit.

“Tolongggg…,” teriakku.
Aku terdiam sambil menunggu jawaban. “Huuuuu” terdengar suara sahutan dari bawah.
“Pak!!!, tolong kami Pak!!!, kami yang hilang di gunung merapi Pak!!” Nopeng berteriak sambil memegang dadanya.
”Tolongggg pak!!!” sambungku lagi lebih keras.
”Siapa tuuuuuuu???” suara dari bawah itu menyahut lagi.
”Kami pak..., yang hilang di gunung merapi Pak, tolong lah Pak..! teriakku lagi,
“Iya, Bakar celana biar disusul kesana” jawab suara itu.
“tak ada Pak, korek api tak ada...!”
“Ya udah, goyang-goyangkan tempat kalian sekarang…!”

Nopeng langsung mengoyang-goyangkan batang bulu yang ada didekatnya itu, “sudah kelihatan Pak?!”
“Oooi…, naik kalian sedikit lagi ke atas, di bawah itu jurang…!” jawab suara itu lagi. Kami saling pandang, lalu naik pelan-pelan ke atas. Kami berdoa dalam hati, sambil terus berkomunikasi dengan si suara dari bawah.

Sekitar 2 jam kami menunggu, dari sebelah kiri kami, akhirnya kami melihat Seorang orang Bapak, dengan anak-anaknya yang berjumlah empat orang, mereka memiliki badan tinggi dan tegap. Sungguh mereka terkejut melihat kami.

“Pak, kami manusia Pak, kami yang hilang di gunung selama beberapa hari ini”
“Iya, kami tahu, syukurlah kalian masih hidup.”
dia mendekati kami lalu mengeluarkan bungkusan nasi. Nopeng memakannya dan kemudian dadanya sakit. Ketika aku mencoba makan, ternyata aku tidak apa-apa, Namun air minum tidak ada.
“sekarang kita turun ke bawah, bagaimana, kalian masih kuat jalan?” tanya si Bapak.
kami coba berdiri dan ternyata tak mampu. Akhirnya kami digendong di punggung oleh si Bapak, dan keempat anaknya secara bergantian, kami pasrah dan senyum-senyum sendiri.
Sembil berjalan, antara sadar dan tidak, akhirnya kami dibawa ke posko, dimana terdapat banyak tim SAR dan Relawan yang masih setia dan yakin bahwa kami masih hidup. Sungguh perjalanan ini sangat melelahkan, mereka menyambut kami dengan penuh antusias dan ucapan selamat atas keberhasilan kami dalam menakklukkan kekejaman Gunung Merapi. Sebenarnya kepercayaan akan hal bahwasanya kami masih hidup adalah dari sebuah mitos, bahwa ada terdapat dua Jenis Gunung yang lumayan terkenal di Sumatera Barat, Gunung Merapi dan Singgalang. Perbedaannya terletak pada kondisi orang yang jika tersesat, Jika tersesat di Gunung Merapi, Jasad Mayat -PASTI ditemukan, namun, jika tersesat di Gunung Singgalang, jasad tidak ada satupun yang di temukan. Itu sebabnya mereka, Uncu, Firman dan Iwan, tiga orang teman-teman kami dan Tim SAR yang lain masih penasaran akan keberadaan kami.

Kami pun dibawa oleh Ambulance ke Rumah Sakit, sambil didampingi beberapan wartawan dan jurnalis yang setia menunggu ending dari cerita kami dan kisah-kisah yang ada didalamnya.

“Terima kasih Tuhan, kau beri kesempatan sekali lagi…”

Posting Komentar untuk "7 Hari Tersesat di Gunung Merapi ( Part 2 - 3)"