Sejarah Tempe, Super Food Asli Indonesia

Sejarah tempe
Tempe makanan asli Indonesia (Food.detik.com)


Kapan tempe pertama kali dikenal. Apa itu Benarkah tempe bermula dari tanam paksa? Pernah dengar istilah menempe?  Inilah sejarah tempe di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber.

Tempe adalah makanan khas Indonesia. Masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mengenal tempe, baik sebagai penganan tunggal yang dikonsumsi langusng maupun dalam berbagai bentuk olahan.

Meski tempe menjadi bahan pangan yang dikenal secara luas dan rutin dikonsumsi masyarakat, namun tidak  banyak diketahui orang tentang sejarahnya.

Lalu, bagaimana asal-usul tempe di Indonesia?

Sejarah Tempe


Dirangkaikan dari berbagai penulisan, berikut sejarah/asal usul /asal muasal perkembangan, jenis dan cara pembuatan tempe di Indonesia.

Masyarakat Indonesia mengenal tempe sebagai makanan tradisional yang terbuat dari kacang kedelai dan diproses dengan cara fermentasi.

Awal mula tempe memang dibuat menggunakan kacang kedelai hitam. Hal itu disebabkan karena dulu budidaya kedelai di nusantara sangat melimpah, khususnya ditanah Jawa. Karenanya dimanfaatkan orang dari berbagai kalangan. Salah satunya untuk membuat tempe.

Namun, ada juga sumber menyebut bahwa kedelai berasal dari China. Hal ini mungkin merujuk banyak makanan tradisional berbahan baku kedelai berasal dari China. Seperti tahu, kecap, dan tauco.

Berdasarkan penelitian genetik, kedelai memang berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning.

Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam "Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia," Kompas, 1 Januari 2000,  sudah sejak 5.000 tahun lalu kacang kedelai dikenal di Tiongkok.

Namun, pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa.

Musafir Tiongkok, Ma Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandingkan kacang itu dengan kacang yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma Huan belum ada di negerinya. 
 
Menurut Astuti, diduga kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum orang China datang ke Tanah Jawa.

Menurut anggapan orang Jawa zaman dulu, kata dele berarti hitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.

Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadele (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok). 

Menurut hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.

Jadi meskipun ada makanan di China yang sama-sama berbahan kedelai, namun tempe tidak pernah sekalipun diproduksi di sana. Tempe diyakini merupakan salah satu makanan asli Indonesia.

Berbeda dengan makanan berbahan dasar kedelai tradisional lain yang dipercaya berasal dari China atau Jepang, tempe merupakan salah satu kuliner tradisional yang betul-betul asli Indonesia.

Meski belum diketahui secara pasti kapan pertama kali pembuatan tempe dimulai, namun makanan tradisional ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu terutama pada budaya makan masyarakat Jawa.

Lalu bagaimana asal mula tempe diketemukan? Diperkirakan tempe merupakan makanan yang ditemukan secara tak sengaja. Proses penemuan tempe diperkirakan berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. 

"Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu," tulis Ong.

Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7.

Tahu dibuat dari unduk (cream) atau susu dari kacang kedelai yang direndam dalam air selama berjam-jam di bawah suhu tertentu.

Sementara, pembuatan tempe seperti yang diulas oleh Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922) dikatakan sebagai ‘kue’ yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel).

Disebut makanan kerakyatan, menurut Andreas Maryoto, seorang wartawan spesialis sejarah pangan, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi. 

Menurut Maryoto, asal mula tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Selanjutnya menjadi tempe kedelai.

Hal ini berkaitan dengan keberadaan tempe yang lain juga berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa.

Menurut Andreas, bila kemudian muncul tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja.

Artinya, tempe kedelai seperti yang kita kenal sekarang merupakan peningkatan kualitas dalam proses pembuatan tempe karena bukan berasal dari limbah.

Karena tempe ditemukan secara tak sengaja, siapa penemunya pun tidak diketahui. Hal yang sama terjadi pada penemuan makanan lain yang ada di dunia yang seringkali anonim.




ASAL MUASAL KATA TEMPE

Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan olahan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih.

Makanan tersebut terlihat memiliki kesamaan dengan tempe segar yang juga berwarna putih. Bisa jadi, ini menjadi asal muasal dari mana kata "tempe" berasal.

Kata kedelai yang ditulis kadele dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13) yang berisi tentang legenda Banyuwangi.

Selain itu, kata tempe juga dijumpai dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1814-1823 oleh Sunan Pakubuwono V, tempe disebut sebagai sajian di pedesaan Jawa.

Kata tempe sebetulnya telah ditemukan dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini yang merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru.

Kata tempe disebutkan sebagai hidangan bernama jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan.

Dalam manuskrip Serat Centhini jilid 3 digambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang dan mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten. Ia dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat, salah satu lauknya adalah Brambang Jae Santen Tempe dan Asem Sambel Lethokan.

Sambel lethok sendiri diolah menggunakan bahan dasar tempe yang telah difermentasikan lebih lanjut.

Kedelai dan tempe bahkan disebut secara bersamaan pada jilid 12 dengan bunyi, "..kadhele tempe srundengan..".

Sambel lethok itu juga dikenal sebagai sambal tumpang. Menurut Widi Winarno, pendiri Tempe Movement, sambal tumpang itu memang khas ada di wilayah Solo-Yogya. Sausnya itu dibuat dari dua hingga tiga jenis tempe, tempe fresh, tempe semangit, dan tempe bosok (busuk).

Menurutnya, di sekitar Kediri, Jawa Timur, ada juga semacam sambal tumpang, tapi diberi dengan bumbu pecel, sehingga diberi nama pecel tumpang.

Masih di Jawa Timur, ada satu desa di Malang, yaitu Desa Sanan, yang semua penduduknya  memroduksi tempe. Ada yang membuat tempe fresh, keripik tempe, ragi tempe.

Kebiasaan warga sekitar Desa Sanan membuat tempe konon sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Bahkan sebelum tahun 1800, saat pertama kali desa tersebut didiami oleh buyut Chabibah atau Buyut Kibah, sebagai sesepuh yang membabat alasan Sanan, sudah ada pengrajin tempe di desa itu.

Namun, di dalam Serat Centhini, nama desa itu tidak disebutkan.



Tanam Paksa

Tempe terus menjadi makanan yang menemani masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu, termasuk di saat-saat sulit.

Catatan sejarah tentang tempe juga muncul saat tanam paksa di tahun 1830-1870-an. Pada masa kolonial itu, tempe menjadi penyelamat masyarakat yang harus bekerja keras.

Menurut sejarawan juga Budayawan Dr. Onghokham, masyarakat Jawa pada era tanam paksa penjajahan Belanda di abad ke-19, terpaksa mengonsumsi tempe yang tidak sengaja mereka temukan sebagai penyelamat kesehatan penduduk.

Pada awalnya masyarakat biasa mendapatkan bahan makanan dari kegiatan berburu, beternak, atau memancing. Asupan masyarakat Jawa pada tahun 1810-an pun disebut masih didominasi oleh bahan makanan hewani.

Masyarakat beternak ayam, kambing, memanfaatkan buah kelapa atau sayur-sayuran yang ada di sekitar rumah untuk diolah menjadi kudapan penuh gizi.

Namun, semakin menciutnya hutan yang berganti menjadi kebun milik Belanda memicu program tanam paksa yang menjadikan masyarakat sebagai kuli, menyita waktu mereka untuk melakukan kegiatan yang sebelumnya kerap mereka lakukan.

Hal itu pun berdampak pada cara mereka memperoleh bahan makanan dan pola asupannnya.

Masyarakat tak lagi banyak mendapatkan protein dari bahan makanan daging atau yang bersifat hewani lainnya.

Kondisi itulah yang membuat olahan kacang kedelai, baik tahu maupun tempe memiliki fungsi yang sangat vital yaitu makanan penyelamat kesehatan penduduk.

Menurut Ong, Bisa dikatakan penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim.



Stigma Negatif


Dengan bergulirnya waktu, tempe terus menjadi makanan yang digemari masyarakat. Harganya yang murah, bahan yang mudah didapatkan, gizi yang tinggi, proses memasak yang mudah, hingga rasa yang nikmat membuat tempe terus bertahan dari tahun ke tahun sampai sekarang.

Namun ada stigma negatif tentang keberadaan tempe sebagai makanan kelas dua yang dikaitkan 
dengan ungkapan "mental tempe" dan "bangsa tempe"yang masih hidup sampai sekarang. Hal tersebut rupanya merujuk pada pidato Presiden Soekarno di zaman dulu yang mengatakan 'kita jangan mau jadi bangsa tempe'. 

Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno pernah mengatakan "Para Bapak Bangsa punya mimpi besar untuk negara baru ini. Indonesia bukan bangsa kuli. Bukan bangsa tempe. Bukan bangsa yang lembek."

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Arsip Lain:


Demikian pidato Presiden Soekarno yang menegaskan bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang lembek seperti tempe. Namun ada pihak-pihak yang kemudian menafsirkan tempe sebagai sesuatu yang buruk. 

Pada masa revolusi kata 'tempe' memang kerap diidentikan dengan hal-hal negatif seperti cengeng, mudah menyerah atau lembek. Maka sindiran seperti 'mental tempe', 'pasukan tempe' atau 'pemuda kelas tempe' dipakai untuk meledek mereka yang dianggap lemah. Bermental lembek seperti tempe.
 
Penilaian negatif terhadap tempe juga tak lepas dari teknologi pembuatan tempe di zaman dulu yang masih sederhana, dimana kedelai diinjak-injak untuk melepaskan kulit arinya. Sedangkan saat ini membuat tempe dengan cara seperti itu sudah ditinggalkan.

Jadi ungkapan seperti "bangsa tempe" dan "mental tempe" terkait dengan proses pembuatan tempe di masa lalu yang sangat tradisional dan sifat dari tempe itu sendiri yang memang lembek.

Karena itu pengertian jangan mau jadi bangsa tempe, harus diartikan bahwa harga diri dan martabat kita sebagai bangsa Indonesia jangan mau diinjak-injak oleh penjajah seperti dalam proses pembuatan tempe di masa lalu.

Dan jangan pernah melupakan fakta sejarah, tempe pernah menjadi makanan yang menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia dari penyakit kurang gizi dan busung lapar tahun 1945-hingga akhir 1960an. 
Kalau tidak ada tempe, saat ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk, entah berapa juta anak yang terlahir kurang gizi. 

Sebelumnya, tempe juga menyelamatkan tahanan perang dunia II yang ditawan Jepang. Cukup besar jasa makanan yang terbuat dari fermentasi kedelai ini.

Ketika Perang Dunia II berlangsung, ahli mikrobiologi Belanda, Van Veen, menjadi tahanan perang bersama banyak tentara Amerika oleh Jepang. 

Van Veen mencatat selama studi pasca-perang, tempe jauh lebih mudah dicerna daripada kedelai yang dimasak biasa. Dia menyimpulkan, tahanan perang yang menderita disentri dan edema nyawanya terselamatkan berkat tempe yang kandungan proteinnya sangat mereka butuhkan.



Indonesia Bangsa Tempe


Tempe bisa dibuat dari aneka bahan selain kedelai
(Instagram @tempemovement)


Dari dulu sampai sekarang tempe telah mendarahdaging dan menjadi makanan sehari-hari semua lapisan masyarakat Indonesia. Sebutan sebagai makanan sejuta umat layak disematkan pada tempe. Bisa dikatakan, ungkapan tiada hari tanpa makan tempe sudah menjadi kenyataan yang mudah dibuktikan.

Perlahan persepsi tentang tempe mulai berubah seiring dengan perkembangan jaman. Berkat usaha para ahli meneliti manfaat tempe, pada akhirnya tempe diakui oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia bahkan bangsa lain di dunia. Di mancanegara, tempe mendapat reputasi sebagai "superfood" dan makanan vegetarian pengganti daging. Hal ini terkait kandungan nutrisi tempe yang lengkap dan memiliki protein yang setara dengan daging.

Tempe pun mengalami perkembangan dalam proses produksinya. Selama ini tempe dikenal sebagai makanan tradisional yang terbuat dari kacang kedelai, namun dengan inovasi yang dilakukan, tempe bisa juga dibuat dari bahan-bahan lain. 

Mulai dari kacang ijo, kacang koro, melinjo, edamame, kacang almond bahkan bukan hanya kacang-kacangan, namun juga daun singkong, edible flower dan mie instan bisa dibuat tempe. 

Berdasarkan penelitian, menurut food technologist, Dr. Driando Ahnan Winarno, sejauh ini ada sekitar 22 jenis kacang-kacangan di seluruh dunia yang bisa dijadikan tempe.
 
Melalui gerakan Tempe Movement yang digagasnya, Driando memanfaatkan dan mensosialisasikan banyak jenis kacang dan bahan lainnya sebagai bahan baku tempe. Hal ini dilakukan untuk mendobrak pikiran masyarakat dulu yang terpaku bahwa tempe hanya dibuat dari kedelai.

Bahkan menurut Driando, tempe bukan hanya sekedar nama makanan, namun juga bisa dipakai sebagai kata kerja, yaitu "menempe" atau bisa diartikan sebagai proses pembuatan tempe itu sendiri. 

Dengan demikian, tempe tidak hanya identik dengan kacang kedelai, tapi juga bisa dibuat dari berbagai jenis bahan lain. Salah satunya tempe mie. 


Jika konsep atau gerakan menempe ini bisa diterima dan dikembangkan sedemikian rupa, maka ini akan bisa menjawab problem ketersediaan kacang kedelai yang selama ini dilematis diantara perajin tempe dan petani kedelai.

Meskipun tempe sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner masyarakat Indonesia. Namun ada ironi dibalik tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap tempe. Sebagian besar kebutuhan kedelai yang digunakan untuk memproduksi tempe justru tergantung dari impor, terutama Amerika Serikat.

Untuk memroduksi tempe yang diakui sebagai makanan asli Indonesia ini, menurut data Kementerian Pertanian, secara nasional dibutuhkan kedelai sebesar 2.2 juta ton, sementara produksi kedelai dalam negeri baru menutupi sekitar 30%, selebihnya 70% dipenuhi dari impor.

Keengganan petani Indonesia menanam kedelai karena tidak bisa bersaing dengan produk impor dan memilih beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Namun jika harga kedelai tinggi, giliran perajin tempe yang menjerit. 

Jadi, tempe asli Indonesia, tapi kedelainya impor!

Tempe dengan campuran kembang telang dan kembang blimbing wuluh (Instagram @widawinarno)

Dengan konsep menempe, ketergantungan tempe pada kacang kedelai seharusnya bisa dikurangi, karena tempe bisa dibuat dari bahan selain kedelai. Dan masyarakat mempunyai pilihan menikmati tempe aneka rasa.  

Nah itulah sekilas sejarah dan perkembangan tempe di Indonesia yang ternyata ditemukan tanpa sengaja namun mempunyai peran yang penting dalam menyumbang nilai gizi masyarakat Indonesia dimasa tanam paksa.

Posting Komentar untuk "Sejarah Tempe, Super Food Asli Indonesia "