Kenapa Orang Barat Lebih Suka Tisu? Fakta di Balik Tradisi Cebok

Dalam urusan membersihkan diri setelah buang air besar, dunia terbagi menjadi dua kubu besar: mereka yang menggunakan air dan mereka yang memakai tisu toilet.

Kebiasaan ini tidak hanya soal preferensi kebersihan, tetapi juga dipengaruhi oleh sejarah, budaya, iklim, pola makan, serta infrastruktur toilet di setiap kawasan.

Mengapa orang Bule menggunakan tisu untuk cebok, sedangkan budaya timur, seperti halnya masyarakat Indonesia, menggunakan air untuk membersihkan dirinya usai buang air di toilet? Berikut penjelasannya.

Alasan Bule Pakai Tisu, Kita Pakai Cebok




1. Jejak Sejarah: Dari Batu hingga Kertas


Sejak zaman kuno, manusia memakai berbagai benda alami untuk membersihkan diri: batu, daun, lumut, bahkan salju.

China abad ke‑6 (SM): Penduduk Tiongkok pertama kali menciptakan kertas pembersih sebagai pengembangan dari kertas tulis.

Romawi kuno: Menggunakan batu dan spons; di wilayah Timur Tengah, air menjadi pilihan utama sejalan dengan ajaran agama.

Abad ke‑19: Joseph Gayetty memperkenalkan “Kertas Obat Gayetty” (1857) sebagai tisu toilet komersial pertama di AS, kemudian berkembang masif sepanjang abad ke‑20.

2. Faktor Iklim dan Kenyamanan


Iklim dingin di Amerika Utara dan Eropa membuat orang Barat enggan bersentuhan langsung dengan air dingin saat cebok, meski kini telah ada pemanas air.

Sebaliknya, masyarakat tropis—termasuk Indonesia—malah merasa segar ketika terkena air setelah buang air besar.



3. Pola Makan dan Tekstur Feses


Konsumsi makanan tinggi serat di banyak negara tropis menghasilkan feses yang lebih lembek, sehingga air lebih efektif membersihkan.

Di Barat, pola makan cenderung rendah serat dan tinggi lemak, menghasilkan feses lebih padat dan kering yang mudah diangkat dengan tisu

4. Infrastruktur Toilet dan Kebiasaan Budaya


Desain kamar kecil: Banyak toilet duduk di Barat tidak dilengkapi bidet atau semprotan air (bum gun), karena tradisi dan biaya instalasi plumbing terpisah.

Budaya warisan: Kebiasaan memakai tisu telah mengakar sejak generasi ke generasi, didukung industri tisu toilet yang tumbuh pesat sejak 1935.





5. Aspek Kesehatan dan Kebersihan


Penelitian menunjukkan bahwa membersihkan dengan air (bidet) lebih efektif menghilangkan bakteri dibanding menyeka dengan tisu:

- Sebuah studi tahun 2022 pada 32 mahasiswa keperawatan menemukan bahwa sarung tangan yang digunakan setelah memakai bidet mengandung jauh lebih sedikit mikroba daripada yang dipakai setelah menyeka dengan tisu.

Riset 2005 di Gastroenterology Nursing melaporkan pengurangan signifikan bakteri feses ketika menggunakan air dibanding tisu saja.

6. Dampak Lingkungan


Penggunaan tisu toilet secara masif menimbulkan beban lingkungan:

- Rata‑rata orang di AS, Kanada, dan Eropa Barat mengonsumsi 15–20 kg tisu per tahun. Proses pembuatan kertas dari kayu menimbulkan polusi dan deforestasi—diperkirakan 15 juta pohon diolah menjadi pulp kertas setiap tahun.

Dibandingkan, bidet hanya memerlukan sekitar 0,5 liter air per penggunaan, jauh lebih ramah lingkungan daripada memproduksi tisu baru.





7. Tren Global: Menuju Bidet dan Semprotan Air


Beberapa negara Barat—terutama Prancis, Italia, dan Spanyol—memasang bidet terpisah di kamar mandi, sementara Jepang populer dengan toilet pintar (washlet) yang terintegrasi semprotan air hangat.

Di Indonesia dan Asia Selatan, bum gun atau tabo (gayung kecil) tetap menjadi standar praktik cebok berbasis air.

Sebagai kesimpulan, pilihan antara tisu dan air tidak semata soal kebersihan semata, melainkan hasil interaksi kompleks antara faktor sejarah, iklim, budaya, pola makan, ekonomi, dan infrastruktur.

Masyarakat Barat banyak yang nyaman dengan tisu berkat warisan budaya dan kondisi iklim dingin, sementara kebiasaan cebok dengan air menawarkan keuntungan higienis dan lingkungan yang semakin diakui manfaatnya secara global.

Halaman Selanjutnya :



Posting Komentar untuk "Kenapa Orang Barat Lebih Suka Tisu? Fakta di Balik Tradisi Cebok"

close