![]() |
Studio Alam Gamplong, Sleman, lokasi syuting yang menjadi destinasi wisata populer di Yogyakarta. |
Pernahkah Anda merasa tergoda untuk mengunjungi suatu tempat hanya karena melihatnya dalam sebuah film atau serial favorit?
Jika iya, tanpa disadari, Anda telah menjadi bagian dari fenomena yang dikenal sebagai cine tourism.
Cine tourism—atau film‐induced tourism—adalah fenomena di mana penayangan film, serial, atau iklan menciptakan daya tarik bagi penonton untuk mengunjungi lokasi syutingnya secara nyata.
Sesuai namanya, cine tourism merujuk pada aktivitas wisata yang dipicu oleh pengalaman menonton film atau serial tertentu.
Wisatawan dalam tren ini tak sekadar melancong biasa—mereka menyusuri lokasi-lokasi yang pernah muncul di layar, berharap bisa merasakan atmosfer dan emosi yang sama seperti yang ditampilkan dalam cerita.
Konsep ini bekerja melalui beberapa mekanisme:
-
Daya Tarik Visual
Lanskap, bangunan, atau suasana khas yang ditampilkan di layar membuat penonton terpesona dan ingin “mengarungi” kembali pengalaman sinematik tersebut secara langsung. -
Keterikatan Emosional
Ikatan yang terbentuk antara penonton dan cerita/karakter—misalnya, rasa kagum pada petualangan Frodo di Middle-earth—memicu keinginan untuk menapaktilasi jejak tokoh favorit. -
Promosi Tidak Langsung
Film atau serial bertindak sebagai sarana promosi wisata gratis yang efektif—destinasi menjadi “bintang tamu” tanpa biaya iklan konvensional.
Awal Mula Istilah Cine Tourism
Istilah cine tourism sering disamakan dengan film-induced tourism atau movie-induced tourism.
Konsep awalnya diperkenalkan di awal 1990-an, ketika Riley dan Van Doren mencetuskan istilah “movie-induced tourism” untuk menggambarkan fenomena turis yang terdorong mengunjungi lokasi setelah menontonnya di layar perak.
Beberapa tahun kemudian, Evans (1997) menyempurnakan istilah ini menjadi “film-induced tourism”, mendefinisikannya sebagai kunjungan wisatawan ke destinasi atau atraksi yang dipengaruhi penayangan di cinema, televisi, atau video.
Lebih lanjut, Sue Beeton mengangkat konsep ini dalam bukunya Film-induced Tourism (2005), sehingga sekarang “cine tourism” kian populer di kalangan praktisi pariwisata dan akademisi.
Manfaat Cine Tourism Bagi Destinasi
-
Peningkatan Kunjungan Wisatawan
Contoh klasik: Hobbiton di Selandia Baru tumbuh pesat berkat trilogi The Lord of the Rings. -
Perputaran Ekonomi Lokal
Wisatawan menginap, makan, dan membeli suvenir di sekitar lokasi syuting. -
Branding dan Diferensiasi
Destinasi yang dipakai syuting mendapatkan identitas unik—misalnya, Dubrovnik dikenal pula sebagai “King’s Landing” bagi penggemar Game of Thrones.
Ambil contoh para pencinta drama Korea. Banyak di antara mereka yang rela terbang jauh ke Korea Selatan demi bisa menginjakkan kaki di tempat-tempat ikonik yang menjadi latar kisah romantis idola mereka.
![]() |
Salah satu cafe yang menjadi lokasi syuting drakor (Popbela.com) |
Dari kafe mungil tempat karakter bertemu pertama kali, hingga jembatan di mana adegan mengharukan berlangsung—semuanya menjadi destinasi wisata yang menggugah rasa penasaran dan nostalgia.
Daya tarik utama cine tourism adalah sensasi ‘hidup’ dalam dunia film. Wisatawan tidak hanya melihat-lihat, tapi juga merasakan sendiri pengalaman yang biasanya hanya bisa dinikmati melalui layar kaca.
Banyak lokasi syuting bahkan menyediakan tur khusus, spot foto bertema, hingga acara perayaan yang berkaitan dengan film tersebut
Bentuk Cine Tourism
Guided Film Tours: Paket tur khusus yang membawa pengunjung ke berbagai lokasi syuting.
Film Festivals & Events: Acara nonton bareng di lokasi asli syuting, atau festival film yang merayakan karya tertentu.
Exhibition & Museum: Pameran properti, kostum, dan latar belakang produksi di dekat set asli.
Contoh Cine Tourism di Indonesia
-
Belitung & Laskar Pelangi
Setelah film Laskar Pelangi (2008) dirilis, kunjungan wisatawan ke Pulau Belitung melonjak drastis. Pemerintah daerah melaporkan peningkatan jumlah kunjungan hingga 37% pasca film tersebut, menjadikan Belitung destinasi film-induced tourism pertama di Indonesia yang sukses memecahkan rekor pertumbuhan pariwisata. -
Ubud, Bali & Eat Pray Love
Adaptasi film Eat Pray Love (2010) yang mengambil sejumlah lokasi syuting di Ubud, Bali, memicu lonjakan popularitas kawasan ini di mata wisatawan internasional. Data menunjukkan bahwa setelah tayang, pencarian dan pemesanan akomodasi di Ubud meningkat signifikan, mengubah desa seni ini menjadi pusat spiritual dan wellness tourism kelas dunia.
Dengan dua contoh di atas—Laskar Pelangi di Belitung dan Eat Pray Love di Ubud—Indonesia telah membuktikan kekuatan cine tourism sebagai pendorong utama pertumbuhan destinasi, memberikan nilai tambah ekonomi sekaligus promosi budaya lokal.
Tren Cine Tourism
Tren cine tourism ini kian populer dalam beberapa tahun terakhir. Bagi banyak orang, berkunjung ke lokasi syuting bukan sekadar agenda wisata, tetapi cara untuk mendekatkan diri dengan karakter atau cerita favorit mereka.
Tak heran bila minat ini menjelma menjadi gelombang wisata global yang memberi pengaruh nyata.
Lebih dari sekadar pengalaman personal, cine tourism juga membawa dampak positif secara ekonomi. Lokasi-lokasi yang menjadi sorotan film kerap mengalami lonjakan kunjungan.
Hal ini membuka peluang baru bagi bisnis lokal—dari penginapan, kafe tematik, toko suvenir, hingga penyelenggaraan tur khusus.
Bahkan, tren ini berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja baru di sekitar destinasi.
Dengan kombinasi antara nostalgia, keingintahuan, dan kecintaan pada dunia sinema, cine tourism menjelma menjadi cara baru menikmati liburan.
Bukan hanya sekadar pergi ke tempat baru, tapi menjelajahi cerita yang sudah menyentuh hati—dan akhirnya, menciptakan kisah baru versi kita sendiri.
Posting Komentar untuk "Cine Tourism: Menjelajah Lokasi Syuting Favorit Anda"